Hidayatullah.com–Banyak orang berbicara ekonomi syariah hanya pada sektor perbankan, asuransi, dan pasar modal saja. Padahal, ekonomi syariah bermakna luas. Hal itu dikatakan pemilik Gerai Dinar, Muhaimin Iqbal saat menjadi pembicara dalam seminar “Peta Jalan Ekonomi Islam: Sinergi Keuangan Syariah dan Bisnis” di Unair, Surabaya, Rabu (22/12).
Cakupan ekonomi syariah, jelas Muhaimin, adalah seluruh aspek kehidupan. Karena itu, tidak bisa didikotomikan atau diambil sebagian saja. Universalisme ekonomi syariah harus menjadi perhatian serius. Pasalnya, jika tidak, banyak aspek lain yang diabaikan.
Muhaimin sendiri kaget ketika melihat gurita kapitalisme yang telah merajalela di negeri ini. Hampir seluruh sektor, dari industri retail, telekomunikasi, media, teknologi, energi, produk pangan, dan produk pertanian, dikuasai oleh kapitalisme.
Sebagai contoh, saat ia pulang ke kampungnya, Muhaimin melihat Alfamart dan Indomart telah berdiri besar di depan rumahnya. Toko pak haji dan toko-toko penduduk lainnya yang dulu jaya, kini terkulai lemas.
“Hilang kemana toko-toko tersebut kalau bukan digilas kapitalisme,” ujarnya.
Karena itu, ujar Muhaimin, jika berbicara tentang ekonomi syariah, maka juga harus berbicara tentang rakyat kecil, tentang pasar, tentang petani, dan lain sebagainya. Atau dalam kaidah fikihnya, “la dharara wa la dhirara” atau “tidak membahayakan diri sendiri dan tidak pula membahayakan orang lain”.
Sedangkan, selama ini yang terjadi justru sebaliknya. Tidak mengapa orang lain bahaya, asal dirinya sendiri selamat. Itu adalah prinsip kapitalis, sama dengan survival of the fittest – yang dikembangkan dari teori Darwin. Karena itu, ujar Muhaimin, jangan heran jika Alfamart dan Indomart ada di mana-mana.
Empat prinsip
Ekonomi syariah sendiri, ujar Muhaimin, memiliki empat prinsip. Yaitu akses pada kapital, sumber daya manusia (SDM), pasar, dan akses terhadap nilai. Dari keempat prinsip itu, di Indonesia masih menggunakan konsep kapitalistik. Karena itu, realitas ekonomi masyarakat Indonesia amburadul dan miskin.
Muhaimin mencontohkan tentang pasar. Untuk pasar, di Indonesia hanya bisa diakses oleh orang yang punya uang. Orang yang ingin usaha, tapi tidak punya banyak modal siap-siap untuk gagal. Seperti pasar di Jakarta, buka usaha di pasar banyak tagihannya, belum pajak, pungutan liar, dikemplang preman, dan lainnya.
Sedangkan, dalam Islam, akses pasar tidak boleh dipersulit, tidak boleh dibebani, tidak boleh dizalimi, dan sebagainya. Padahal, terangnya, jika pasar bisa digunakan sebagai kail oleh berbagai kalangan, maka dengan sendirinya perekonomian akan meningkat. [ans/hidayatullah.com]