Hidayatullah.com–Radikalisme agama yang kian marak di Indonesia membutuhkan penanganan yang cukup serius dan cermat dalam melihat akar persolannya, karena radikaliseme agama tidak pernah hilang dalam kehidupan. Demikian disampaikan Ketua PP Muhammadiyah Prof. Din Syamsudin.
“Radikalisme keagamaan akan ada sepanjang masa, dan buktinya juga demikian,” ungkapnya di Jakarta, Rabu (27/4) sore.
Din berpendapat, dalam menghadapi radikalisme agama, tidak mungkin dihilangkan, tetapi bisa dibatasi. Untuk menanggulanginya perlu upaya semua pihak dan secara menyeluruh oleh pemerintah dan masyarakat madani.
“Kita hanya bisa mengeliminasi dengan penegakan komprehensif, dan ini harus dilakukan oleh seluruh stakeholder Negara,” terangnya.
Menurutnya kembali, ada porsi tanggung jawab kepada ormas dan masyarakat madani dalam memberikan pemahaman Islam yang moderat, tetapi pemerintah tetap harus bertanggung jawab untuk menanggulanginya.
“Negara juga bertanggung jawab, terutama dengan tidak memberikan peluang kelompok ini,” ujar Din.
Penyebab lahirnya radikalisme, menurut Din, bukan hanya berasal dari faktor keagamaan teologies ideologi, tetapi mempunyai kemungkinan faktor non-agama, politik, ekonomi, dan keadilan sosial. Seperti merebaknya korupsi yang tidak ditangani dengan baik oleh pemerintah, sehingga menggerakkan masyarakat berbuat anarkis dan menjadikan agama sebagai justifikasi.
“Pemerintah dan Badan Penangulangan Teror seringkali menerapkan pendekatan kacamata kuda, seolah-olah berasal dari faktor ideologis semata,” lontarnya.
Adanya kerusakan lingkungan, korupsi, tebang pilih dalam penegakan hukum, dan ketidakadilan sosial yang hadir di pentas kehidupan, memungkinkan kelompok-kelompok radikal memprotes keadaan tersebut, bahkan kebobrokan pemerintahan bisa menjadi faktor penting radikalisme agama.
“Hal ini seringkali diabaikan oleh Negara dalam memerangi fundamentalisme, radikalisme, dan terorisme,” kata Din.
Lebih dari itu, menurutnya, yang terpenting dalam penanggulangan radikalisme agama perlu adanya kerjasama antara pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama dengan ormas, bukan merasa sanggup menanganinya sendiri.
“Pemerintah jangan menyisihkan ormas. Dalam hal ini Muhammadiyah merasa disisihkan,” tandas Din.*