Hidayatullah.com–Pemerintah Indonesia tidak perlu serius menanggapi politikus Belanda anti Islam Geert Wilders yang menyatakan Maluku sudah saatnya merdeka dari Indonesia yang islamistis. Pernyataan ini disampaikan Effendy Choirie, anggota komisi luar negeri DPR Indonesia. Akan tetapi, ia merasa, Kedutaan Besar RI di Den Haag perlu menyikapi pernyataan Wilders tersebut.
“Saya kira KBRI perlu menanggapi, tapi tidak perlu presiden menanggapi. Yang kayak gitu nggak usahlah. Diplomat kita itu kan fungsinya meyakinkan mereka. Membuat mereka bersikap positif terhadap Indonesia. Membuat mereka lebih realistis melihat Indonesia.”
Lagipula pernyataan Wilders itu, menurut tokoh Partai Kebangkitan Bangsa ini, salah besar. Warga Maluku juga kebanyakan beragama Islam, sehingga aneh kalau dikatakan Maluku harus merdeka dari Indonesia yang Islam. Baginya tweet Wilders tersebut bertujuan sensasi belaka. Jadi tak perlu ada reaksi besar.
“Kita kan nggak gila. Dia begitu itu kan namanya politikus gila. Pimpinan partai gila,” kata Effendy Choirie.
Namun, imbuhnya, kalau nanti sudah mengganggu betul, kalau sudah menjadi sikap kecenderungan rakyat sana, baru pemerintah Indonesia bersikap tegas. Untuk sementara pernyataan pembuat film anti Islam Fitna itu direspon terbatas saja.
“Menanggapi politikus gila, nggak usah ikut gila. Tapi KBRI di sana perlu melakukan langkah-langkah politik yang proporsional, yang lebih dewasa,” tukas anggota komisi luar negeri DPR RI, Effendy Choirie.
Pesimis
Sementara itu, tokoh nasionalis Permadi justru merasa pemerintah Indonesia harus protes keras. Namun ia pesimis apa parlemen Indonesia bisa mendesak pemerintah melakukan itu.
“DPR sekarang dikuasai oleh koalisi pemerintah, GOLKAR, Demokrat dan seterusnya. Kalau pemerintahnya tidak bergerak, apa DPR bisa bergerak,” ujar mantan anggota komisi luar negeri DPR Indonesia.
Persoalannya jika pemerintah merasa tidak dilecehkan, maka tidak banyak bisa dilakukan. Hanya saja, Permadi mengingatkan, jangan teriak-teriak kalau suatu saat Maluku lepas betulan.
Menurutnya pemerintah dan parlemen Indonesia tidak peduli dan tidak berani.
“Pertama, bagaimana anggota DPR berkualitas kalau sebagian besar diisi anak-anak baru. Pemain sinetron, pelawak dan sebagainya. Apa pemahaman mereka tentang politik luar negeri. Kedua, tidak ada keberanian. Inilah yang disebut presiden pertama Indonesia, Soekarno, sebagai neokolonialisme, neoimperialisme, yang jauh lebih berbahaya dari kolonialisme dan imperialisme,” tandas Permadi.
Sebelumnya, hari Senin, saat para pendukung Republik Maluku Selatan (RMS), merayakan proklamasi kemerdekaan tanggal 25 April 1950 di sebuah gedung pertemuan di kota Apeldoorn, Belanda pemimpin partai sayap kapan Belanda, PVV, Geert Wilders menyatakan dukungannya pada gerakan separatis RMS.
Melalui jejaring Twitter ia menyatakan: “Hari ini berlangsung peringatan perjuangan kemerdekaan Maluku. Dan sekarang sudah saatnya, mereka merdeka, bebas dari Indonesia yang islami.”*