Hidayatullah.com- Seorang pria berambut putih naik ke atas panggung, lalu berdiri di belakang podium. Dia berbicara santai sepatah dua patah kata, beberapa saat kemudian gaya bicaranya mulai berubah. Agak tersendat, lalu suaranya meninggi, menurun, datar, kemudian sesegukan.
Pria berpeci hitam itu sekonyong-konyong menangis di depan ratusan orang. Tak sungkan dikeluarkannya tisu dari balik saku, menyapu kristal bening dari kelopak mata di belakang kaca matanya. Dalam lirih, pria berbatik hitam itu tetap berbicara sarat emosional, melontarkan kata demi kata bermuatan sastra. Di lain kalimat dia mendesah, di lain paragraf suaranya mengayun, kadang pula sembari terkikih-kikih. Suasana dibawanya berubah-rubah, orang-orang di depannya pun terbawa suasana. Tercenung, hening, tersenyum dan tertawa.
Pria itu tak lain adalah Taufik Ismail. Budayawan terkenal asal Bukittinggi, Sumatera Barat tersebut saat itu sedang membawakan sejumlah puisinya kala menyampaikan sambutan pada acara Deklarasi Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) di Puri Ratna, Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta (28/2/2012).
Menurut Taufik, puisinya tersebut sebagai cerminan dari rintihan rakyat dan bangsa Indonesia saat ini.
“Saya akan menyampaikan beberapa puisi yang menggambarkan perasaaan hati kita semua,” ujar dia dalam pengantarnya.
Malam itu, Taufiq membacakan puisi “Mencari Sekolah yang Mengajarkan Rasa Malu” di hadapan para ulama, tokoh intelektual, tokoh agama, tokoh masyarakat, pejabat, tokoh politik dan tokoh pemikiran serta para undangan, berikut kutipan puisinya;
“…”
Mencari Sekolah yang Mengajarkan Rasa Malu
Seorang ibu membawa anaknya ke sekolah A
dia mengajukan permohonan
“Tolong, tolong anak saya diajari rasa malu,” katanya
Kemudian, jawab kepala sekolah
“Waaah, di sekolah kami tidak diajarkan rasa malu,”
“Loh, kenapa, pak?”
“Begini, Bu, ketika murid-murid nyontek, guru-guru kami pura-pura tidak tahu,”
“Ooooh…”
Ibu itu pergi, membawa anaknya ke sekolah B
dia menyebutkan permintaan yang serupa
“Bu, bu, tolong anak saya diajari rasa malu,” ujarnya
Kemudian, jawab ibu kepala sekolah
“Waadduh, di sekolah kami tidak lagi diajarkn rasa malu,”
“Loh, bagaimana toh itu maksudnya, Bu Kepala Sekolah?”
“Begini, begini… Ketika UAN,
ada guru ditugaskan diam-diam,
kepada murid memberi jawaban ujian,”
“ooooo…”
Ibu yang gigih itu
ibu itu sangat gigih
dia membawa anaknya ke sekolah C
dia mengulang lagi permintaan itu juga
“Pak, pak, pak, pak, tolong anak saya diajari rasa malu,” ujarnya
Jawab kepala sekolah,
“Yaaaah, kok nggak tau sih ibu ini?
Di sekolah kami kan sudah lama sekali tidak diajarkan rasa malu,”
“Loh, bagaimana itu penjelasannya Pak Kepala Sekolah?”
“Walah, walaaah, sekolah kami sudah seratus persen lulusnya,
dan itu harus dicapai dengan segala cara,”
“Bagaimana itu caranya pak?”
“dee ngaan see gaa laa caa rraa…”
“ooooooooo…”
9 “O”-nya itu
***
Tiga Kali Potong
Di Republik Rakyat Tiongkok koruptor dipotong leher
Di Arab Saudi koruptor dipotong tangan
Di Indonesia koruptor dipotong masa tahanan
Saya dapat dari sampeyan. Terima kasih! (sembari Taufik Ismail menunjuk ke salah seorang di depannya)
***
Dua Kali Mudur
Di Jepang, menteri merasa salah memang mundur
Di Indonesia, menteri jelas salah patang mundur
***
(“Puisi terakhir, inspirasi dari Datuk Sri Anwar Ibrahim yang memberikan perbandingan ini di ceramahnya di teater kecil di TIM (Taman Ismail Marzuki, Jakarta)”, kata Taufik)
Sama Saja Serakahnya, Sama Saja Serakahnya, Cuma… Titik, Titik, Titik
Koruptor di negara bekas jajahan Inggris
geraknya halus, tidak terus terang, lumayan sopan, masih ada rasa segan
Koruptor di negara bekas jajahan Belanda
kasar tingkahnya, gayanya blak-blakan, tanpa rasa malu, tidak sungkan-sungkan
Yang satu melaksanakan transaksinya di bawah meja saja
Yang satu lagi melaksanakan transaksi di bawah meja, dan di atas meja, dan sehabis itu mengunyah mejanya
***