Hidayatullah.com– Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menilai upaya pemerintah mendorong pemberantasan korupsi Indonesia jalan di tempat.
Bahkan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah mendukung pemberantasan korupsi bisa dikatakan masih artifisial. Tak substantif.
Demikian salah satu poin yang disampaikan Fadli yang juga sebagai Presiden Global Organization of Parliamentarians Against Corruption (GOPAC), dalam peringatan hari anti korupsi se-dunia 9 Desember 2018.
“Secara umum saya mencatat agenda pemberantasan di Indonesia berjalan di tempat. Berdasarkan data indeks persepsi korupsi Transparansi Internasional, misalnya, di 2017 Indonesia berada di peringkat ke-96 dengan skor 37. Skor tersebut sama dengan skor di 2016.
Ironisnya, selain tak ada peningkatan skor, justru secara peringkat Indonesia turun dari 90 di 2016 menjadi 96 di 2017. Dari sini saja kita bisa melihat kinerja pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi jalan ditempat, bahkan tertinggal,” ungkapnya dalam rilisnya diterima hidayatullah.com, Senin (10/12/2018).
Data di atas ungkapnya sekaligus mematahkan euforia terhadap peningkatan jumlah OTT (operasi tangkap tangan). Sejak awal 2018 hingga saat ini tercatat sudah ada 37 jumlah OTT. Jumlah ini lebih banyak dibanding tahun 2016 yang hanya 19 OTT.
“Tapi faktanya indeks persepsi korupsi kita justru stagnan. Ini menandakan pemberantasan korupsi tak cukup melalui penindakan, tapi juga dibutuhkan komitmen pencegahan korupsi dalam berbagai aspek,” jelasnya.
Menurutnya, minimnya upaya pembenahan pemberantasan korupsi, diperburuk dengan lemahnya komitmen pemerintah terhadap pencegahan korupsi di tubuhnya sendiri. Ini tercermin dari terlibatnya sejumlah kementerian dan lembaga yang justru tersandung kasus korupsi besar. Seperti kasus korupsi di Direktorat Pajak, Kejaksaan, dan Kementerian Perhubungan dan Kementerian Desa.
Berdasarkan data BKN 2018 yang dikutipnya, terdapat 2.357 pegawai negeri sipil (PNS) yang terlibat tindak korupsi. Dari jumlah tersebut, 98 PNS tercatat berada di instansi pusat. “Kementerian Perhubungan dan Kementerian Agama menjadi dua instansi dengan jumlah PNS yang terlibat korupsi tertinggi.”
Tak hanya itu, korupsi juga terjadi pada proyek-proyek infrastruktur yang sedang dijalankan pemerintah. Berdasarkan catatan ICW, pada tahun 2017 terdapat 241 kasus korupsi dan suap yang terkait pengadaan sektor infrastruktur.
“Hal ini menjadikan sektor infrastruktur menempati posisi teratas kasus korupsi. Akibatnya, negara merugi Rp 1,5 triliun dengan nilai suap mencapai Rp 34 miliar. Saya melihat, Potensi pelanggaran akan semakin besar. Apalagi jika proyek infrastruktur dipaksakan untuk selesai 2019. Tentunya akan membuka celah untuk bermain-main dengan anggaran negara,” ujar Fadli.
Ia mengatakan, rendahnya komitmen pemerintah juga tercermin dari berlarut-larutnya pengungkapan kasus penyerangan terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan.
“Presiden di awal-awal kejadian berjanji menuntaskan kasus ini. Namun sudah lebih dari 600 hari, faktanya tak ada hasil nyata. Bahkan terkesan pemerintah berupaya mengalihkan tanggung jawab dan menghindar. Ini akan menjadi preseden buruk. Tak hanya bagi upaya pemberantasan korupsi, tapi juga bagi upaya penegakan hukum yang lebih luas,” ungkapnya.
Kata Fadli. hari anti korupsi sedunia pada 9 Desember, harusnya menjadi momen pemerintah untuk lebih serius dalam mendorong agenda pemberantasan korupsi.
Pemberantasan korupsi di Indonesia tak bisa lagi bersandar pada model pemadam kebakaran saja. Harus ada upaya lebih substantif.
“Kita tak ingin terjadi juga kasus-kasus tebang pilih apalagi didasarkan kepentingan politik jangka pendek. Inilah tantangan besar kita sekarang,” pungkas Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini.*