Hidayatullah.com–Beragam tanggapan terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI terkait hubungan perdata atas anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah menurut hukum di Indonesia mendapat tanggapan Pimpinan Pusat ‘AIsyiyah.
Dalam pernyataan sikap yang disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Siti Noordjannah Djohantini dan Sekretaris Umumnya Siti Diah Nuraini, PP “Aisyiyah mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mengkaji dan menyikapi putusan MK agar implementasinya tidak bertentangan dengan dan menghilangkan nilai-nilai, norma-norma, dan akhlaq yang diperintahkan agama.
“Mengajak kepada seluruh elemen masyarakat untuk mengkaji dan menyikapi Putusan Mahmakah Konstitusi tersebut agar implementasinya tidak bertentangan dengan dan menghilangkan nilai-nilai, norma-norma, dan akhlaq yang diperintahkan/diajarkan agama serta moral luhur yang berlaku dalam kehidupan bangsa Indonesia,” demikian tulis PP ‘Aisyiyah dalam pernyataan resmi bertajuk “Tanggapan PP ‘Aisyiyah Mengenai Putusan MK”, seperti dimuat di laman resmi Muhammadiyah, Sabtu, (03/03/2012).
Setelah membaca dan mengkaji secara seksama Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan agar tidak menimbulkan dampak luas di luar semangat perlindungan terhadap anak dan demi menjunjungtinggi lembaga perkawinan, Pimpinan Pusat Aisyiyah menyampaikan beberapa tanggapan.
Pertama, putusan MN Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya” harus dibaca spiritnya sebagai payung hukum perlindungan terhadap anak, serta tidak menegasikan dan menghilangkan lembaga perkawinan yang sah sebagaimana UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan dan Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang berlaku sah di Negara Republik Indonesia.
Kedua, putusan MK tersebut hendaknya tidak dibaca sebagai pembenaran terhadap perkawinan yang tidak sah secara hukum, serta tidak bertentangan dengan Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan serta Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam bahwa “Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan alat bukti yang sah”.
Ketiga, menurut ‘Aisyiyah, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU No 1/1974 tentang Perkawinan). Karenanya, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat 1 UU No 1/1974 tentang Perkawinan).
Selain itu menurut ‘Aisyiyah, perlindungan bagi anak di luar perkawinan yang sah harus dilaksanakan secara proporsional, yakni dikembalikan sesuai peraturan perundang-unndangan atau adat istiadat yang berlaku, yang mengatur tentang hak keperdataan bagi anak sah dan anak di luar perkawinan yang sah.
Selanjutnya, organisasi di bawah Muhammadiyah ini meminta pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagaimana amanat pada pasal 43 UU Perkawinan tahun 1974.
“Mendesak kepada Pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagaimana amanat pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1/1974,” tulisnya.*
Foto: muhammadiyah.or.id