Hidayatullah.com—Makna kerukunan yang kabur, merupakan salah satu faktor disharmoni di mayarakat Jawa Timur. Pernyataan ini disampaikan Ketua Majelis Ulama (MUI) Jawa Timur, KH. Abdussomad Buchori belum lama ini.
Pernyataan Kiai Somad, demikian ia akrab disapa, disampaikan dalam sebuah makalah bertema “Peran Ulama dalam Menciptakan Harmonisasi Kehidupan Masyarakat”, di depan 50 alim-ulama se Jawa Timur, termasuk Ketua PWNU dan PW Muhammadiyah Jawa Timur.
Menurutnya, jumlah penduduk Jawa Timur berkisar 38 juta di mana mayoritas adalah Muslim memiliki banyak persoalan keumatan yang menjadi lahan dakwah bagi MUI.
Di depan alim ulama itu, Kiai Somad juga menguraikan beberapa persoalan yang menjadikan pemicu lahirnya dis-harmonisasi di tengah umat. Di antaranya, ia menyebut kemiskininan, kebodohan, kesenjangan ekonomi, ajaran sesat, pemahaman agama yang sempit (sehingga gampang menyalahkan dan mengkafirkan), fanatisme pemahaman agama yang berlebih-lebihan, merajalelanya kemaksiatan, dan biasnya makna kerukunan.
Menurutnya, konsep kerukunan beragama yang banyak disampaikan tokoh-tokoh sering keliru. Ia menyebut contoh, di Surabaya, di mana ada sebuah kegiatan tadarrus al-Quran di gereja. Menurutnya, ini semua terjadi karena ada kelompok salah memahami kerukunan. Termasuk yang memelopori acara buka bersama di gereja.
“Ada kelompok yang melakukan seperti ini dengan alasan kerukunan,” ujar Kiai Somad.
Karena itu, menurut Kiai Somad, makna-mana kerukunan seperti ini bisa menimbulkan konflik dan disharmoni di tengah masyarakat.
Pemicu lain disharmoni di tengah umat menurut Kiai Somad adalah; sikap pemerintah yang melakukan pembiaran terhadap fenomena kelompok aliran sesat dan menyimpang, stigmatisasi terhadap umat Islam oleh media massa dan pembiaran rumah ibadah tak berizin di Jawa Timur.
Menurutnya, pemerintah telah memiliki Peraturan Bersama (PBM) No 9/2006 dan No 8/2006 merupakan hasil revisi dari SKB dua menteri No 1/1969 bahwa pendirian rumah ibadah harus dibuktikan 90 orang penganut yang dibuktikan dengan kartu penduduk (KTP), di mana itu berlaku untuk umat Non Muslim dan Muslim. Tapi faktanya di lapangan justru lain.
Di Jawa Timur, kata Kiai Somad, ada sekitar 2000 gereja, 400 saja untuk Surabaya.
“Bahkan ada satu RW di daerah Kenjeran yang memiliki 8 gereja,” katanya.
Menurut Kiai Somad, keberadaan MUI Jawa Timur menangangi banyak hal, termasuk aliran-aliran dalam Islam. Baru-baru ini, bersama Gubernur Jawa Timur, MUI memberikan sumbangan bertema “menata kota bebas dari prostitusi”.
Hal lain yang menjadi sorotan MUI adalah paham liberal yang mengajarkan konsep pluralisme agama. Dalam kesempatan itu, ia juga meminta para ulama untuk tidak sering menggunakan istilah Pluralisme Agama dalam masalah kerukunan.*