Hidayatullah.com–Mahkamah Konstitusi (MK) disambangi beberapa tokoh perorangan, masyarakat Madani, dan LSM untuk mengajukan permohonan Judicial Review UU Nomor 22 tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi.
“Kami memiliki pandangan yang sama bahwa UU Migas membuka liberaliasi asing masuk dengan leluasa,” ujar Din Syamsuddin dalam pertemuannya dengan para hakim MK di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (29/3/2012).
Menurut Din, UU Migas ini meruntuhkan kedaulatan negara atas kepemilikan minyak dan gas Indonesia dan membawa dampak substantif dan sistemik terhadap kehidupan rakyat, keuangan negara, dan membuka liberalisasi kepada asing.
“Kami mencatat bahwa dunia permigasan Indonesia sampai 80 persen dikuasai asing,” terang Din Syamsuddin.
Atas dasar itu, KH Hasyim Muzadi, Fahmi Idris, Ali Mochtar Ngabalin dan Addie Massardi yang mewakili 30 pemohon lainnya berharap MK dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya sesuai dengan kepentingan rakyat dan UUD 1945.
“Kami datang mengadu karena kami tahu MK sebagai benteng terakhir dalam tegakkan konstitusi dan mencegah dampak sistemik dalam UU ini,” tutur Din Syamsuddin.
Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), KH Hasyim Muzadi, menerangkan, persoalan BBM ini sebetulnya simpel.
“Yang menjadi persoalan itu bukan pada kenaikan harga BBM 1.500 rupiah, tapi pada undang-undangnya,” tegas Hasyim di ruang pers gedung MK.
Hasyim menjelaskan, bentrokan yang terjadi antara aparat kepolisian dengan mahasiswa Selasa kemarin, menurutnya, tidak perlu terjadi lantaran seluruh masyarakat akan terkena dampak kenaikan harga BBM yang akan diketok palu pada tanggal 1 April.
“Ini ironis sekali ketika mahasiswa harus berhadapan dengan polisi di mana polisi dan TNI juga akan merasakan dampaknya karena harga menjadi mahal,” tutur Hasyim, pada laman Tribunnews.
Atas dasar tersebut, Hasyim menganggap bahwa UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi merupakan biang keladi dari kenaikan harga BBM.
“Kalau nggak diperbaiki, maka akan memberikan dampak kepada rakyat dan aparat juga menjadi korban,” tandas Hasyim.*