Hidayatullah.com–Indonesian Police Watch (IPW) dan sejumlah LSM lain menilai Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) masyarakat sipil dan Ketetapan (TAP) MPR, serta UU Pembentukan Perundang-undangan.
“Proses RUU Kamnas berjalan tidak benar, karena berpotensi terjadi pemberangusan terhadap hak masyarakat sipil,” kata Ketua Presidium IPW, Neta S Pane di Jakarta, belum lama ini kepada wartawan di Jakarta.
Neta mengatakan pemerintah telah mengembalikan draf RUU Kamnas kepada DPR RI tanpa merevisi atau mengubah pasal yang memiliki penafsiran ganda.
Sekitar enam bulan lalu, DPR menyerahkan draf RUU Kamnas beserta catatan revisi pada berbagai pasal yang berpotensi melanggar HAM dan memiliki penafsiran ganda kepada pemerintah.
“Namun pemerintah tidak mengubah draf RUU yang menjadi catatan DPR untuk direvisi,” ujar Neta.
RUU Kamnas juga melanggar TAP MPR Nomor VI tentang pemisahan TNI dan Polri, serta TAP MPR Nomor VII tahun 2000 tentang kewenangan TNI dalam pertahanan nasional dan Polri berwenang mengatasi keamanan keamanan nasional.
Neta mempertanyakan penyusunan RUU Kamnas hanya melibatkan Kementerian Pertahanan dan Kementerian Koordinator Politik Hukum Keamanan, namun tidak mengajak pihak kepolisian sesuai TAP MPR.
Sementara itu Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindakan Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menduga RUU itu terkesan dipaksakan. “Ke depannya nanti akan ada penguatan untuk rezim security. Indikasi paling kuat terlihat dari pengajuan RUU Kamnas yang terkesan dipaksakan,” ujarnya dikutip Antara.
Menurut Haris, SBY selalu menyatakan TNI sudah tidak lagi melakukan pelanggaran HAM. Ia lantas mempertanyakan bagaimana penyelesaian dengan berbagai pelanggaran HAM berat di masa lalu. “Kan tidak pernah jelas apalagi tuntas. Ini artinya ada kecenderungan untuk menutupi kasus-kasus HAM di masa lalu,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti mengatakan RUU Kamnas mengancam kebebasan demokrasi bahkan pers, jika DPR RI menetapkan menjadi undang-undang.
“Terdapat dua pasal yang bisa dijadikan pemerintah untuk membuka kebijakan represif terhadap kebebasan demokrasi dan pers,” kata Ray di Jakarta, Rabu.
Ray menyebutkan kedua pasal itu, yakni Pasal 17 dan 54 yang tercantum pada RUU Kamnas memiliki pandangan ganda (multi tafsir) yang berpotensi digunakan pemerintah bertindak represif terhadap rakyat saat negara dinyatakan tidak aman.
Ray menjelaskan Pasal 17 dan 54 menyebutkan ancaman keamanan nasional di segala aspek kehidupan dikelompokkan ke dalam ancaman militer, ancaman bersenjata dan ancaman tidak bersenjata.
Menurut aktivis tersebut, ancaman keamanan nasional tidak didefinisikan secara jelas dan tanpa batasan, sehingga dapat mengancam semua elemen masyarakat seperti wartawan, mahasiswa, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat, politisi, pegawai negeri sipil, bahkan ibu rumah tangga.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, TB Hasanudin menyatakan RUU Kamnas terdapat kekurangan pada beberapa pasal, seperti tidak ada penjelasan definisi keamanan nasional maupun ancaman nasional terkait indikator dan kategori.
Hasanudin mencontohkan Pasal Pasal 54 huruf (e) RUU Kamnas versi pemerintah tentang adanya kuasa khusus yang dimiliki Dewan Kemanan Nasional yang berhak menyadap, menangkap, memeriksa dan memaksa yang dianggap melanggar HAM.
Kemudian, Pasal 10, Pasal 15 juncto Pasal 34 tentang darurat sipil dan militer yang tidak ada hubungannya sesuai UU Keadaan Bahaya, serta Pasal 17(4) berpotensi membahayakan demokrasi.*