Hidayatullah.com–Perbedaan di dalam Islam itu sudah biasa, karena itu, jika ada perbedaan sebaiknya saling melakukan tabayyun. Demikian disampaikan Zahrodin Fanani, M.PI, Pembina dan Pengajar Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki Surakarta dalam acara seminar nasional di Gedung Convention Hall UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
“Dalam Islam, istilah perbedaan adalah khilaf. Sedangkan khilaf memiliki perbedaan dengan iftiroq,” ujarnya dalam acara seminar Jumat (14/12/2012).
Zahrodin mengatakan, khilaf adalah apabila ada dua subyek saling bertentangan. Secara istilah, itu tidak keluar dari isi bahannya dan dikhususkan untuk meteri/term-term amaliyah, yang muncul dari kalangan ulama yakni seperti fikih.
Menurutnya, jika khilaf masuk dalam kaitan akidah, maka namanya iftiroqi yang memiliki permasalahan besar. Jika ada yang berbeda dalam masalah ushuliyah maka muncul pertentangan-pertentangan kuat, ini yang dinamakan iftiroq. Ikhtilaf dalam ibadah kadang juga memunculkan pertentangan, lebih parah jika ada suatu dramatisir dari adanya politik, dan jika adanya fanatisme yang berlebihan, ungkapnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, iftiroq memang keluar dari pengertian ahlu as-sunnah wal jama’ah, karena terkait ideologi dalam bidang ushuluddin. Ihktilaf lebih khusus, sedangkan iftiroq lebih umum. Ikhtilaf (perbedaan) merupaakan sumber dari iftiroq, yang mengakibatkan perpecahan.
Tidak setiap ikhtilaf itu iftiroq, namun setiap iftiroq adalah berasal dari ikhtilaf, karena iftiroq adalah masalah pokok (ushul dalam agama), ujarnya.
Ia mengatakan, berkaitan dengan iftiroq, terkadang orang teralalu berlebihan/ekstrim dalam menyikapi agamanya. Hal ini bahkan menganggap kafir terhadap orang lain/paham yang tidak selevel dengannya. Padahal agama sendiri memunculkan adanya rukhsah (keringanan) yang tidak bisa dihukumi dengan hukum asal dalam perbedaan. Ia menyayangkan, ada juga motif politik, yang kemudian menjadikan dijadikan pondasi awal yang tidak menerima pendapat orang lain.
Dari permasalahn ini, ia memberikan sikap terhadap permasalahan ini. Kata Zahrodin, jika ada perbedaan fikih maka legowo (terima) saja. Ulama juga banyak berbeda pendapat, karena ushul fikih-nya juga berbeda dengan ulama yang lainnya. Ia mengutip salah satu pendapat Imam Syafi’i, yakni “pendapatku benar, mungkin ada salahnya. Pendapat orang lain salah, namun mungkin ada benarnya juga,” katanya.
Hadir pula dalam acara tersebut, Badrun Alaina (Pengurus PP GP Anshar). Ia mengatakan, di dalam ormas Nahdhatul Ulama (NU) juga tidak kalah jauh dari prinsip dasar Islam.
“NU mengapresiasi dari ideologinya pesantren Al-Mukmin Ngruki,” ujar Badrun. Ternyata tidak seperti apa yang kebanyakan orang pahami, di pesantren Ngruki itu sangat jelas dan tidak bertentangan dengan pihak lain di negara ini, imbuhnya.
Menurut Badrun, NU sendiri mengikuti paham Ahlu as-sunnah wal jama’ah, dalam ranah kulturisasi. Politik bisa merubah suatu paham, karena terinvensi oleh paham politik tertentu.
“Di ranah kultur, pemahaman NU perlu dibenahi supaya bisa saling menghormati seluruh perbedaan,” kata Badrun.
Sementara itu, Prof Dr Abdul Munir Mulkan, pengurus Pendidikan Tinggi Muhammadiyah, mengatakan, Muhammadiyah bermaksud mewujudkan agama Islam itu sebagai fungsi produktif.
“Orang Islam semakin cerdas, sehat dan sejahtera,” ujar Munir.
Menanggapi perbedaan ideologi di kalangan umat Islam, ia mengatakan kelompok Islam manapun sebenarnya adalah sama, meski cara penafsirannya saja yang berbeda.
“Tujuannya sama, menggunakan suatu hadits itu juga sama, tapi menafsirkannya berbeda, itu merupakan suatu hal yang biasa. Yang penting mempererat harmonisasi,” ujarnya.
Acara seminar ini dihadiri sekitar 130 peserta baik dari kalangan dosen, mahasiswa, umum dan pengurus Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.*