Oleh: Reza Ageung
SEBAGUS, seindah dan sehebat apapun sebuah kota atau daerah, adanya kompleks lokalisasi prostitusi akan menjadi noda yang sulit untuk diabaikan. Surabaya misalnya dengan gang Dolly-nya, Bandung dengan Saritem-nya, Jogyakarta dengan Pasar Kembang-nya atau Balikpapan dengan Kilometer 17-nya, dan juga daerah-daerah lain dengan masalah prostitusinya menjadi aib yang membebani pundak masyarakatnya, khususnya kaum alim ulama yang merasa memiliki tanggung jawab moral untuk membersihkan kemaksiatan.
Kompleks lokalisasi pula yang menjadi sumber abadi gugatan kaum ulama terhadap pemerintah daerah yang notabene memiliki otoritas untuk mengeluarkan kebijakan menutup tempat-tempat maksiat.
Namun, hal tersebut tidak semudah membicarakannya. Di Balikpapan, misalnya, problem penutupan Kilometer 17 sudah berlarut-larut selama bertahun-tahun dengan tarik ulur yang membosankan.
Terakhir, 21 Januari 2013 lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengerahkan ormas-ormas Islam dan massanya masing-masing untuk berdemo guna menggugat pemerintah kota yang sudah berjanji menutup kilometer 17 sebelum masuk tahun 2013. Janji yang tak terpenuhi itu masih ditambah penguluran penutupan hingga lima bulan ke depan, setelah dilakukan negosiasi antara walikota dengan para kiai.
Alasan pemerintah untuk tidak segera menutup lokalisasi terkesan logis dan rasional. Menurut pemerintah, jika lokalisasi dibubarkan dan para PSK dipulangkan—sebagian besar dari mereka adalah pendatang dari luar kota—maka besar kemungkinan mereka akan kembali lagi dan beroperasi secara diam-diam alias ilegal, sebagaimana terjadi di tempat lain di Balikpapan.
Jikapun mereka tidak bisa berkumpul lagi di tempat lama, mereka akan menyebar tak karuan di pemukiman masyarakat dan kontan dapat menebar penyakit serius, baik penyakit moral maupun fisik. Atau, bisa jadi mereka akan berkumpul lagi dan beroperasi di tempat lain yang tak terjangkau hukum otoritas pemerintah kota.
Belum lagi pertimbangan biaya. Katanya, para germo itu menuntut ganti rugi hingga lebih Rp 20 M jika lahan rezeki mereka dibubarkan. Faktor-faktor inilah yang menurut pemerintah menuntut “kehati-hatian” kita untuk mengatakan “jangan dulu ditutup.”
Salah Paradigma
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari pernah menganalogikan sebuah masyarakat sebagai sebuah kapal penuh penumpang yang sedang berlayar. Jika seseorang hendak mengambil air, ia harus naik ke lantai paling atas untuk menimba dari laut. Bisa saja ia melubangi lantai paling bawah untuk mendapatkan air secara langsung, namun akibatnya bukan hanya akan menimpa si pelaku: seluruh kapal akan tenggelam.
Hadits ini ditutup dengan kalimat, “Bila mereka yang berada di atas membiarkan niat orang-orang yang berada di bawah, niscaya binasalah mereka semua. Akan tetapi, bila mereka mencegahnya maka akan selamatlah mereka semua.”
Aktivitas melubangi kapal adalah simbol dari kemaksiatan, sementara tenggelamnya kapal menunjukkan bahwa kemaksiatan yang dilakukan segelintir orang dapat berakibat bagi kerusakan masyarakat secara keseluruhan, sebagaimana firman-Nya: “Dan takutlah akan fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim saja di antara kamu.” (QS: al-Anfal: 25)
Hadits dan ayat di atas mengingatkan kita agar tidak membiarkan adanya kemaksiatan. Sebaliknya, dalam masyarakat Islam, kontrol sosial harus berjalan demi kepentingan masyarakat. Dibiarkannya kemaksiatan bukan hanya merusak, melainkan juga menghalangi ridha Allah atas masyarakat tersebut. Itulah sebabnya diharuskan adanya amar ma’ruf nahyi munkar yang walaupun dibebankan kepada seluruh masyarakat, seringkali diwakili oleh kaum ulama. Oleh karenanya dalam kasus lokalisasi ini kita wajib mengapresiasi upaya keras MUI di berbagai daerah untuk menekan pemerintah agar segera menutup tempat-tempat prostitusi.
Namun, masyarakat dan ulama hanya dapat bergerak sebatas nahyi mungkar, mencegah kemungkaran, tidak lebih. Adapun izaalatul mungkar, menghilangkan kemungkaran, hanya menjadi otoritas negara dengan segala kekuasaan dan istrumennya : hukum dan aparat. Itulah sebabnya, negara yang abai atas kemaksiatan sama bahayanya dengan kemaksiatan itu sendiri!
Bahaya ini semakin menjadi-jadi dengan adanya paradigma yang salah atas pelaku kemaksiatan. Pertimbangan pemerintah yang harus memulangkan PSK, memberi ganti rugi kepada para germo dan bahkan menuntut MUI untuk mengadakan program pembinaan PSK pasca penutupan menunjukkan bahwa negara memandang para PSK bukan sebagai pelaku kejahatan atau pidana, melainkan sekedar warga yang mencari makan dengan cara yang keliru dan meresahkan masyarakat, itu saja.
Padahal, melubangi kapal adalah sebuah kejahatan karena dapat menenggelamkan seluruh kapal. Maka dalam Islam, setiap pelanggaran hukum syara’ adalah jarimah, tindak pidana.
Imam al-Mawardi dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyah mendefinisikan jarimah sebagai makhturat syar’iyah zajaraLlahu ta’ala ‘anha bihaddin aw ta’ziirin, perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir. Had adalah hukuman yang jelas tercantum dalam nash, kita biasanya menyebutnya hudud, sedangkan ta’zir adalah sanksi dari penguasa atas tindak pidana yang tidak dijelaskan hukumannya dalam nash.
Zina adalah salah satu kaba’ir, dosa besar, yang memiliki had atau sanksi yang jelas dalam nash. Pelaku zina yang sudah menikah harus dihukum rajam (HR. Muslim), sedangkan yang belum menikah dihukum cambuk 100 kali (QS: an-Nuur : 2) jika terdapat empat orang saksi. Jika tidak ada saksi, pengakuan mereka dapat menjadi keabsahan untuk memberi sanksi. Atau jika tidak mengaku, negara bisa saja mempertimbangkan untuk memberikan sanksi lain atau ta’zir karena telah menjadi bagian dari tempat maksiat, sesuai kaidah al-wasilatu ila al-haram haramun, semua sarana menuju keharaman adalah haram. Dan setiap keharaman adalah pelanggaran hukum syara’ yang mesti ditindak.
Sementara itu, pemerintah hanya fokus pada aspek pembubaran tempat saja beserta seluruh konsekuensi yang menyertainya. Memang, jika hanya pembubaran yang dilakukan tanpa ada sanksi bagi PSK dan germo, akibat-akibat sebagaimana dijelaskan di awal pasti akan terjadi, itu harus kita akui juga. Namun justru di sinilah cacat paradigma itu. Jika pengedar narkoba saja diberi sanksi berat, mengapa pengedar penyakit sosial tidak diberi sanksi?
Hal ini memang berakar dari cacat pada KUHP kita. Dalam buku induk hukum pidana tersebut, perzinaan dan pelacuran memang belum terdaftar dalam keluarga besar tindak pidana.
Memang ada dua pasal yang menyinggung masalah prostitusi. Pertama, pasal 296 yang berbunyi, “barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain, dan menjadkannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak lima belas ribu rupiah”. Yang kedua adalah pasal 506, “barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seseorang wanita dan menjadikannya sebagai pelacur, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.”
Dari pasal-pasal di atas kita dapat memahami bahwa hukum pidana kita hanya mengkategorikan prostitusi sebagai suatu delik terhadap pihak perantaranya. Artinya, pasal-pasal ini hanya dapat menjerat para germo dan mucikari. Sedangkan pelacur dan “konsumennya” jelas tidak tersentuh.
Di sinilah pentingnya melakukan perubahan paradigma hukum atas para pelacur dan juga orang-orang yang menggunakan jasanya. Dan Islam jelas menawarkan paradigma ini dengan menetapkan sanksi yang tegas bagi pelaku zina. Umat Islam harus berani mengatakan bahwa jika PSK dan germonya diberi sanksi, maka pemerintah tidak usah khawatir dengan operasi ilegal atau tuntutan ganti rugi. Sebab sebuah kejahatan tidak usah diganti rugi, seolah-olah bisnis perzinaan seperti pabrik kerupuk atau sepatu. Kejahatan adalah kejahatan, kemaksiatan adalah kemaksiatan. Kewajiban pertama bagi pemegang kekuasaan terhadap kejahatan atau kemaksiatan adalah memberantasnya, apapun konsekuensinya. Wallahu a’lam.*
Penulis adalah pemerhati masalah sosial keagamaan