Hidayatullah.com–Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait, menyatakan bahwa perceraian akan sangat berdampak luar biasa, utamanya kepada anak.
Menurut, Arist, jika pasangan yang bercerai kebetulan sudah memiliki anak, maka si anak akan kehilangan sosok salah satu dari kedua orangtua dimana yang idealnya diasuh oleh kedua orangtuanya.
“Ketika terjadi perceraian, maka secara sosial dia (si anak, red) sudah terhukum oleh teman temannya. Minimal temanya bertanya di mana ibumu, di mana ayahmu. Kenapa cerai,” kata Arist dalam perbincangan dengan hidayatullah.com, Ahad (02/06/2013).
Apalagi, kalau sang anak dari ibu atau ayah yang terkenal diekspos media. Sedangkan anak yang tidak terekspos oleh media saja yang orangtuanya cerai, secara sosial dia sudah terhukum oleh lingkungan sosialnya.
“Yang mengkhawatirkan, anak akan kehilangan sosok idola. Ini akan berdampak secara sosial, tumbuh kembangnya akan terhambat. Karena dia seharusnya diasuh oleh kedua orangtuanya,” ujarnya.
Secara sikologis, anak korban perceraian akan terganggu karena dia berada pada posisi dimana orangtua bercerai, si anak tidak dalam posisi memilih. Tetapi, lanjut Arist, anak acapkali dipaksa diperhadapkan pada posisi memilih.
Hal itu, yang kata Arist, membuat beban psikologis anak semakin berat yang tidak bisa memilih ayah dan ibunya, sekalipun misalnya itu diputuskan oleh pengadilan.
“Dampaknya akan sangat luar biasa, minimal tumbuh kembang anak. Dia akan menjadi anak yang tumbuh kehilangan arah,” tukasnya.
Cenderung akan liar
Senada dengan itu, Sekretaris Jenderal Badan Penasehatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), Najib Anwar, mengatakan dampak terburuk perceraian sangat sangat besar terhadap anak terutama dari segi hukum.
“Kalau anak itu perempuan, tetap dia harus diwalikan oleh walinya. Dalam hal ini oleh ayah nasabnya sebagai ayah biologis. Akan ada luka psikologis yang sangat dalam ketika dia dinikahkan oleh ayah yang sudah bercerai,” jelas Najib.
Lebih jauh, jelas Najib, seorang anak korban perceraian tetap harus mengikuti orangtuanya seperti dalam hal pencatatan tentang data kelahiran, surat wali, dan surat surat lainnya.
Selain itu, anak korban cerai cenderung akan liar karena tidak memiliki figur yang lekat dengannya. Karena tidak ada pembinaan. Atau jika dia di pihak ibu, maka tidak ada pembinaan dari ayah. Atau jika di pihak ayah, tidak ada bimbingan dari ibu.
“Ada kecenderungan ingin mencari kehidupan lain di luar sana. Kalau dapat lingkungan yang baik, dia akan baik. Sebaliknya kalau lingkungannya buruk, ia pun akan tercemar,” jelasnya.
Adapun untuk atasi masalah maraknya kasus perceraian agar tak terjadi dalam sebuah keluarga, Aris Merdeka Sirait dan Najib Anwar berpendapat sepenarian.
Menurutnya, harus ada keberanian dari pasangan secara terbuka mengkonsultasikan kepada minimal orang-orang terdekat yang dipercaya, sebelun beranjak ke institusi-institusi perkawinan.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Saya kira itu yang harus dilakukan. Terbuka. Apa yang jadi kendala, apa yang menjadi masalah. Minimal carilah orang dipercaya yang bisa memberikan jalan keluar. Seringkali kita meminta pendapat orang yang menambah kacau,” kata Arist menyarankan.
Sementara Najib, memandang pentingnya menelusuri dari awal ketika seseorang mau mendaftar ke Kantor Urusan Agama (KUA) untuk melangsungkan pernikahan.
“Ada pembinaan sebelum pernikahan terjadi. Ketika ia mendaftar di KUA, ada tenggang waktu 10 hari untuk bisa mengikuti pembinaan pranikah. Sepuluh hari itu harus digunakan untuk pembinaan khusus calon pengantin,” kata Najib..
Ia menegaskan, bahwa pemerintah dan perangkat-perangkatnya bertanggungjawab untuk membina pemuda dan pemudi yang sudah masuk usia nikah seperti mahasiswa dan SLTA, membina mereka bagaimana menjalani masa kehidupan rumah tangga, demikian Najib.*