Hidayatullah.com—“Nak atau tak nak? Kalau Nak 1000 Daye!Kalau Tak Nak, 1000 Daleh!” Pepatah Melayu itu menyindir keteguhan hati orang-orang yang memiliki impian. Seringkali kegagalan datang sebelum aksi dilakukan. Namun, kebulatan tekad akan membawa rintangan di depan mata sebagai media penyeberang untuk sampai pada tujuan.
Pepatah INI diungkapkan oleh Felix Siauw, salah satu pembicara seminar “Mari Menulis!” yang diprakarsai komunitas akun Twitter @PejuangSubuh di Aula Masjid Baitul ‘Ilm, Dinas Pendidikan Jakarta, Sabtu (13/07/2013).
Menurut Felix, selain bisa menumpahkan uneg-uneg, menulis sangat berperan penting dalam ranah dakwah.
“Dulu saya tidak menyukai pelajaran mengarang. Bagi saya, bahasa dan sejarah adalah dua hal dari masa lalu yang tidak perlu saya ikut mengetahuinya,”tutur pria yang sudah meluncurkan 5 karya buku ini.
Menurutnya, para ulama salaf juga dikenal sebagai penulis-penulis ulung.
“Ternyata para sahabat dan thabiin dan ulama-ulama besar, sangat menggemari bahasa dan sejarah. Dari kedua hal itulah Islam bisa menguasai dunia,”jelasnya.
Penulis novel sejarah Muhammad Al-Fatih itu menjelaskan pentingnya berdakwah melalui tulisan.
Ia mencontohkan tentang Karl Marx. Buku Das Kapital yang ditulisnya, pernah menjadi sorotan dunia. Padahal buku itu menulis tentang sosialisme dan pertentangan kelas. Sebuah materi yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sayangnya, buku itulah yang dilahap oleh anak muda Muslim.
“Bagaimana dengan kita? Apa yang sudah ditulis?”tanyanya dihadapan hampir seratus orang peserta yang hadir.
Ia terus memotivasi peserta untuk tidak patah arang. Felix percaya bahwa kemampuan menulis tidak ada hubungannya dengan bakat. Komentarnya itu sebagai jawaban atas pernyataan peserta yang mengatakan dirinya kurang percaya diri (PD) menulis.
Ia mencontohkan anak usia dua tahun yang secara aktif berbahasa Arab atau China.
”Mereka saja bisa. Kenapa? Karena terbiasa. Begitu juga dengan menulis. Itu adalah suatu keterampilan,”tuturnya.
Kegagalan menulis seringkali terjadi saat merangkai kata pertama. Keluhan itu muncul dari beberapa peserta. Ternyata itulah yang jamak terjadi.
“Sudah, tulis saja! Bahkan ketika tidak ada yang ingin ditulis, tulislah kata-kata. Kemudian ceritakan uneg-uneg kenapa tidak mau menulis,”ucapnya.
Paparannya itu membuat peserta yang hadir tergelitik. Trik semacam itu dikatakannya sebagai pancingan untuk menulis lebih panjang.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Secara disiplin Felix menetapkan waktu minimal 30 menit setelah sholat Subuh untuk menulis. Mengalokasikan waktu menulis setiap hari, makin mengasah kemampuan menuangkan kata-kata. “Mengenai waktu, setiap orang memiliki jadwal masing-masing. Hanya saja, ide dalam tulisan saya mengalir deras setelah sholat Subuh,”paparnya.
Pada pembicaraan selanjutnya, Felix bercerita mengenai lompatan-lompatan intelektual melalui membaca. “Kalau kita mau menerbitkan buku, minimal membaca 12 buku dengan tema apa saja sebagai bahan bacaan,”jelasnya. Pada proses menulis buku Muhammad Al-Fatih 1453, Felix membaca 40 buku tentang sepak terjang Al-Fatih yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam adalah sebaik-baik Panglima.*/Rias Andriati