Hidayatullah.com–Hukum Islam sangat lengkap, dinamis dan meliputi semua aspek kehidupan. Demikian disampaikan Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali ketika memberikan kuliah umum di Kampus Universitas Islam Indonesia (UII), Jogjakarta Senin, (28/10/2013).
“Dalam perkembangan zaman yang semakin kompetitif, seharusnya hukum Islam mampu diterapkan di segala zaman”, terang Menag dikutip laman Kemenag.
Sebelum menyampaikan kuliahnya yang berjudul ‘Keadilan dan Hukum Kita,’ Suryadharma juga meresmikan Pusat Studi Hukum Islam UII disaksikan Rekor UII, Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. H. Musa Asy’arie, pejabat Kanwil, dosen, dan ratusan mahasiswa.
Menurut Menag, pendirian pusat studi hukum Islam pada kampus ini sangat tepat, agar akademisi dapat terus melihat apa yang berkembang di masyarakat yang berkaitan khususnya dengan hukum Islam. Pasca reformasi, proses legislasi hukum Islam berjalan sangat pesat. Banyak terjadi internalisasi hukum Islam ke dalam hukum nasional, ujar Menag.
“Hukum Islam dipandang mampu dijadikan acuan terhadap berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat,” ujar Menag.
Dalam ilmu sosial, Menag menjelaskan bahwa realisasi benar dan salah dalam ilmu sosial dibatasi ruang dan waktu. Jika benar di suatu tempat maka belum tentu benar di tempat lain, begitu juga halnya, jika benar di suatu waktu maka belum tentu benar di waktu lain. Ilmu sosial mengajarkan kita untuk tidak merasa paling benar.
“Hukum lahir akibat tarik menarik di antara berbagai bidang seperti sosial, ekonomi dan bidang lain yang berada di sekelilingnya. Hukum adalah realitas yang ternegosiasikan,” imbuh Menag.
Suryadharma mengatakan pemaduan hukum Islam dan hukum positif tidak sesederhana yang dikira. Ada kesalahan semantik yang sering tidak disadari ketika berbicara tentang hukum Islam di satu sisi dan hukum positif di lain sisi. Problem internal itu misalnya seringkali tidak peduli akan perbedaan antara Syari’ah dan hukum Islam. Ada yang mengartikan syariah adalah agama Islam itu sendiri, ada juga yang memaknai syariah sebagai hukum Islam.
Jika didekati secara sosiologis, katanya, syariah adalah nilai-nilai hukum, jadi belum menjadi hukum. Dalam banyak literatur sosiologi, nilai adalah seperangkat anggapan tentang baik dan buruk, namun pelanggaran atasnya tidak menghadirkan sanksi. Sementara norma, pelanggaran atasnya menghadirkan sanksi. Dalam hal ini fikih atau hukum adalah norma dan merupakan hasil deduksi dari nilai.
“Dalam upaya penciptaan tatanan sosial (social order), fikihlah yang diterapkan, bukan syariah,” ungkapnya dikutip laman UII.
Sementara secara konstitusional, menurut Suryadharma, agama adalah salah satu unsur pembentuk hukum nasional karena itu jika hukum Islam turut mewarnai hukum nasional mestinya tidak menjadi isu, karena hukum Islam adalah bagian dari kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Sekali dideklarasikan sebagai hukum nasional maka bukan lagi hukum Islam tetapi hukum positif Indonesia.
“Undang-undang tentang perkawinan, wakaf, haji dan lainnya lebih tepat disebut hukum positif Indonesia ketimbang hukum Islam meskipun diambil dari norma Islami,” terangnya.
Dalam kesempatan sama, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec menjelaskan bahwa kuliah umum ini merupakan salah satu rangkaian acara peresmian pusat studi hukum Islam.
Pada tahun ini, UII resmi berulang tahun ke-70. Pada usia yang terbilang sudah tua ini, UII berharap bisa meningkatkan perannya kedalam pembangunan khususnya pembangunan hukum Islam.*