Hidayatullah.com–Wali Kota Depok, Jawa Barat, Nur Mahmudi Ismail mengambil spirit Hari Sumpah Pemuda yang diperingati setiap tanggal 28 Oktober sebagai momentum melawan kolonialisme dan barang impor.
Menurutnya, para pemuda bangsa di masa lalu memiliki rasa tanggung jawab melepaskan Indonesia dari keterpurukan penjajahan. Sedangkan saat ini, katanya, bangsa Indonesia juga harus dilepaskan dari keterpurukan.
“Keterpurukan dari apa? Ayo kita diskusikan. Jadi kita perlu kembali lagi, bangsa ini mau dikelola siapa? Mau dikelola oleh orang lain, atau mau kita malah bisa memberikan konstribusi kepada negara lain,” imbuhnya dalam acara silaturahim dan diskusi bersama segenap jajaran Kelompok Media Hidayatullah (KMH) di Polonia, Jakarta Timur, Senin (28/10/2013).
Keterpurukan bangsa Indonesia saat ini, menurutnya, adalah dengan bebasnya barang-barang impor masuk ke dalam negeri. Hal ini dinilai telah menjerumuskan masyarakatnya menjadi konsumtif terhadap produk-produk asing.
Nurmahmudi mengatakan, di dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 disebutkan, bangsa Indonesia siap ikut melaksanakan ketertiban dunia. Tentu hal ini bisa dilakukan Indonesia jika sudah mampu melindungi segenap komponen bangsa dan seluruh tumpah darahnya.
“Memajukan kesejahteraan umumnya, mencerdaskan kehidupan bangsanya, kita memiliki kesiapan untuk bisa berdiri sama tinggi, kemudian duduk sama rendah, dalam perspektif menciptakan ketertiban dunia tadi,” terangnya.
Membaca refleksi dari perjuangan para pemuda dulu, lanjut mantan Presiden Partai Keadilan ini, dalam sudut pandang Islam di sana juga terdapat peran kaum Muslimin.
“Umat Islam juga berkiprah di situ. Hanya kurang dilanjutkan lagi tuh, semangat-semangat itu. Bahwa mereka mencoba untuk merajut satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa, dalam perspektif menghadapi penjajahan. Di dalam menghadapi kolonialisme,” jelasnya bersemangat.
Jika semangat melepaskan diri dari keterpurukan itu tidak ada, menurut Nur Mahmudi, niscaya segenap komponen bangsa pada masa lalu tidak bersatu melawan penjajah.
Dia membayangkan, dari Sumatera sampai Maluku bahkan Irian Jaya mampu disatukan menjadi satu bangsa, akibat adanya kesatuan pemikiran oleh rakyat Indonesia untuk melawan kolonialisme.*