Hidayatullah.com–Umat Islam saat ini makin kurang mengenal ulama-ulama beserta karyanya. Terutama, kurang mengenal ulama tasawwuf, seperti Hakim al-Tirmidzi, Junaid al-Baghdadi, Abu Abdurrahman al-Sulami dan lain-lain.
Keprihatinan tersebut disampaikan Dr. Ugi Suharto (salah satu pendiri Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) pada Kajian Ilmah yang diadakan oleh InPAS Surabaya dengan tema “Posisi Hadits dalam Kerangka Pemikiran Islam: Tantangan dan Dinamika” di Gedung Dakwah dan Informasi Hidayatullah Surabaya, Selasa (14/01/2014).
“Siapa yang kenal Abdul Qohir al-Baghdadi, sudah kenal kitabnya al-Farqu Bainal Firaq, kita sudah kenal gak Abu Nu’aim al-Isfahani dan Hakim al-Turmudzi. Siapa mereka”? Tanya Ugi Suharto kepada peserta kajian.
Menurut Ugi, jangankan mengenal mereka, di antara kita bahkan menyesatkan. Dikatakan tasawwuf itu bid’ah, sesat dan lain sebagainya.
“Ini salah satu akibat penyempitan khazanah pemikiran Islam,” terangnya.
Dalam kajian yang dihadiri lebih dari 75 pesert itu, Ugi Suhato dengan tegas menyatakan fenomena penyempitan tersebut merupakan batu sandungan dalam membangun peradaban Islam.
“Salah satu tantangan internal dalam pemikiran Islam adalah munculnya fenomena penciutan atau penyempitan khazanah pemikiran Islam yang luas dan kompleks. Penyempitan pemikiran Islam itu misalnya dikatakan Islam hanya persoalan fikih semata, lalu disemmpitkan lagi bahwa fikih itu hadits, lalu hadits dipersempit lagi hanya hadits shohih saja,” tambahnya.
Pria yang sehari-hari menjadi dosen di University College of Bahrain itu berpendapat, pembangunan peradaban Islam harus dengan mengikuti khazanah, metode dan tradisi para ulama terdahulu.
“Kita tinggal meneruskan. Metode dan tradisi ulama dahulu tidak perlu digugat-gugat lagi”, terang alumni ISTAC Malasysia ini.
“Jika kita hendak membangun peradaban maka kita memerlukan warisan khazanah pengetahuan Islam yang pernah berjaya lama, tapi ketika fenomena penyempitan pemikiran Islam ini berkembang, banyak sekali dari khazanah keilmuan Islam seperti para ulama dan kitab-kitabnya yang terlupakan,” paparnya.
Al Ghazali dianggap sesat
Akibat fenomena penyempitan pemikiran Islam ini pula menyebabkan ulama-ulama besar dan hebat seperti Imam al-Ghazali kerap dijatuhkan otoritasnya.
Ia menyebut kitab Ihya’ Ulumuddin dikatakan mengandung kesesatan serta memuat hadits-hadits palsu.
“Imam al-Ghazali itu memiliki guru-guru hadits berisnad, beliau menguasai hadits. Hanya saja beliau tidak terlalu menonjol dalam bidang hadits. Tapi dibanding kita tidak ada apa-apanya.”
Ugi mengaku sangat prihatin, kita yang tidak punya isnad hadits, lalu mencela Imam al-Ghazali yang memiliki isnad hadits.
“Al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin menjelaskan karakter keilmuan para imam madzhab sebagai seorang yang ‘aabid (ahli ibadah), zaahidan (zuhud), ‘aaliman bi umuri al akhiroh (‘alim dalam ilmu yang terkait dengan akhirat), faaqihan fii masholihul kholqi fid dunya (faqih dalam menetukan mashlahat makhluk di dunia), wa muriidan bi fiqhihi wajhullahi ta’ala (dan hasrat keinginannya dalam berfiqih adalah mengharap ridla Allah semata),” ungkap pria yang pernah menjadi dosen pengampu “Sejarah dan Metodologi Hadits” di The International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Malaysia ini.*