Hidayatullah.com–Keberadaan anggota legislatif perempuan dengan kuota 30 persen, tidak benar-benar mewakili kepentingan perempuan. Pemenuhan kuota merupakan aturan yang dipaksakan. Hal itu disampaikan oleh Jurubicara (Jubir) Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Iffah Ainur Rochmah di Kantor Pusat HTI, Crown Palace, Jakarta Selatan, kemarin.
“Banyak yang bilang, saya kan di nomor urut yang tidak mungkin jadi. Saya juga tidak cukup modal untuk mengkampanyekan diri sehingga saya juga tidak perlu khawatir jika terpilih sebagai Caleg,” ujar Iffah menirukan pernyataan yang sering dikatakan para Caleg perempuan.
Dalam analisanya, seandainya pun Caleg tersebut didukung masyarakat, masih menyisakan pertanyaan, apakah suara perempuan akan berpengaruh secara signifikan. Sementara dalam mekanisme demokrasi, semua keputusan berdasarkan suara terbanyak.
Itulah yang menyebabkan banyak persoalan masih menggantung. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), salah satu hasil kebijakan yang menambah daftar panjang kepentingan perempuan yang belum terselesaikan.
Menurut Iffah, pada akhirnya program yang mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2014 ini lebih condong pada asuransi kesehatan dengan kewajiban pembayaran premi.
Tingginya angka kematian Ibu menjadi persoalan lain yang sejak lama belum menampakkan kemajuan.
“Sampai hari ini target MDGs (Millenium Development Goals), menekan jumlah angka kematian dibandingkan dengan angka kelahiran, 108/100 ribu orang, tidak tercapai. Menurunkannya butuh waktu sangat panjang,”paparnya.
Ia menambahkan, HTI tidak berada dalam posisi menerima atau menolak kebijakan kuota 30 persen. Mereka hanya ingin membangun kesadaran publik bahwa aturan main yang mengkampanyekan keterwakilkan perempuan sebanyak mungkin di parlemen, tidak berbasis kajian terhadap realita kebutuhan perempuan itu sendiri.
Kita bisa belajar dari negara di wilayah Skandinavia, seperti Swedia, Finlandia dan Denmark yang kuota anggota legislatif perempuannya sampai 40 persen. Ternyata, angka perkosaan menggila.
Berdasarkan itu, sejak tahun lalu Muslimah HTI aktif mengadakan pertemuan dengan anggota legislatif ataupun Caleg dari berbagai partai, baik partai politik (Parpol) Islam maupun bukan. Pertemuan itu ditujukan memberi gambaran peran perempuan diranah publik.
“Apakah kita maju ke parlemen atau tidak, tidak boleh sekadar dorongan atau ajakan dari Parpol dengan iming-iming bisa menyelesaikan persoalan perempuan,”cetus perempuan yang sudah belasan tahun bergabung dengan HTI itu.*