Hidayatullah.com–Media massa-media massa mainstream (arus utama) belum tentu disebut jurnalisme. Sedangkan seorang ibu rumah tangga bisa saja menjadi seorang jurnalis. Keduanya tergantung sejauh mana elemen-elemen jurnalistik dipenuhi oleh media ataupun pelaku jurnalistik.
Hal ini disampaikan wartawan senior Dandhy Dwi Laksono pada hari pertama acara Lokakarya Peliputan Wilayah Konflik di Hotel Akmani, Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta, Selasa-Rabu (13-14/5/2014). Pada sesi siang itu, Dandhy membawakan tema “Meliput dan Mengemas Cerita Konflik”.
Menurutnya, sebuah media bermodal besar sekalipun bisa saja tidak memenuhi elemen-elemen jurnalistik. Sehingga, “Media mainstream tidak berarti ada jaminan bahwa mereka (sesuai) jurnalisme,” ujarnya di depan sekitar 30 wartawan peserta lokakarya.
Dandhy berpendapat, jurnalisme bukan pada tataran diskusi, bukan soal merek dagang atau bisnis. Juga tidak terletak pada elemen-elemen formal maupun modalnya. Tapi, katanya, jurnalisme adalah hasil akhir sebuah produk jurnalistik yang memiliki ruh.
“Ibu rumah tangga yang bisa menghasilkan sebuah produk yang memenuhi semua kaidah jurnalistik, maka itu jurnalisme,” ujar wartawan televisi penulis buku Jurnalisme Investigasi ini.
Informasi Belum Tentu Data-Fakta
Dandhy menjelaskan, ada beberapa elemen dalam jurnalistik. Pertama, elemen data-fakta. Pada elemen ini, sebuah informasi belum termasuk data-fakta.
Dandhy mencontohkan saat dirinya meliput konflik di Aceh belasan tahun lalu. Saat itu, dia menerima serangkaian informasi bertolak belakang dari dua pihak yang bertikai, yaitu aparat keamanan negara dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Dalam laporan harian jumlah korban perang misalnya. Tentara, ungkapnya, mengklaim anggota GAM banyak yang tewas. Sebaliknya, GAM mengklaim tentara banyak yang tewas. Informasi dari keduanya ini dinilai bukan data-fakta.
Sebab, menurut Dandhy, laporan itu sebagai bentuk propaganda. “Dalam perang semua orang punya kepentingan dengan informasi,” ujarnya.
Informasi dari tentara maupun GAM, tambahnya, akan menjadi data-fakta ketika jurnalis menyebut sumber informasinya. Untuk itulah, jurnalis bertugas mencari data-fakta sendiri selain dari kedua pihak bertikai. Misalnya dengan menggali langsung ke lapangan atau menemui masyarakat.
Memang, kata dia, pencarian data-fakta di lapangan akan memakan waktu lebih lama. Untuk mencari korban tewas saja, ungkapnya, bisa 1-2 hari.
“Ketika muncul (data-fakta) menurut temuan kita sendiri, itu yang membedakan dengan propaganda,” jelasnya.
Elemen kedua dalam jurnalistik, jelas Dandhy, adalah sumber informasi (narasumber/narsum). Jurnalis sebaiknya tidak hanya memikirkan narsum resmi, tapi juga narsum tidak resmi, yang bisa didapat dari lingkungan terdekat jurnalis.
“Narsum kita jangan-jangan saat naik angkot, (bertemu) ibu-ibu, nenek-nenek,” ujarnya mencontohkan.
Elemen ketiga, jelasnya, adalah konteks bagaimana sebuah peristiwa terjadi. Konteks ini perlu lengkap, tidak boleh memutus suatu peristiwa.
Elemen keempat adalah kekuatan audio-visual. Elemen ini, jelas Dandhy, sangat menggerakan sebuah cerita yang diangkat jurnalis. “Bisa mengurangi bias kita dalam mengurai informasi,” ujarnya.
Yang kelima adalah elemen pengemasan sebuah produk jurnalistik. Elemen ini menyangkut gaya penulisan atau penyampaian cerita, dan sebagainya.
Dandhy memaparkan, hasil peliputan jurnalistik mengenai konflik harus mampu menghentikan kekerasan yang terjadi. Bukan sebaliknya malah menimbulkan konflik baru.
Sehingga, baginya, ada alasan bagi para pembaca, pendengar, maupun penonton hasil liputan untuk peduli dengan konflik. Misalnya dengan memberikan bantuan atau meminta konflik dihentikan.*