Hidayatullah.com–Sudah sering terjadi wartawan ditawan saat meliput peperangan. Menurut Juru bicara (Jubir) Komite Internasional Palang Merah (ICRC) Pusat Robin Waudo, hal ini disebabkan karena dua hal, berita dan uang.
Robin Waudo mengatakan itu saat menjadi pembicara pada acara Lokakarya Peliputan Wilayah Konflik kerjasama ICRC dan Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) di Hotel Akmani, Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta, Selasa (13/5/2014).
Robin Waudo menjelaskan, ketika para wartawan bertugas di medan perang, mereka akan menulis apa yang mereka dapatkan di lapangan.
Mereka, lanjut Robin Waudo, akan melaporkan apa yang terjadi, apa yang salah, siapa yang salah, atau siapa yang membunuh. Hal ini tentu dikhawatirkan oleh pihak-pihak yang sedang berperang, yang akhirnya menawan wartawan.
“Itu yang membuat mereka (wartawan) pasti akan diculik. Jadi itu alasan pertama,” ujarnya melalui penerjemah.
Alasan kedua, jelasnya, para penculik berharap mendapat tebusan setelah menculik wartawan. Sebab wartawan biasanya memiliki jaringan yang kuat di luar medan perang.
Di samping itu, katanya, “Dalam konflik sudah jelas tidak memandang itu wartawan atau bukan,” ujar pria yang disebut pernah membebaskan beberapa wartawan dalam konflik di Tripoli, Libia ini.
Staf ICRC Diculik
Pada lokakarya tersebut, Robin Waudo juga mengungkap, selama ini sudah banyak staf ICRC yang diculik saat bertugas di wilayah konflik.
Untuk tahun 2014 ini saja, sebutnya, sudah 2 tim yang diculik dalam konflik di Suriah dan Mali. Yang di Mali sudah dibebaskan setelah 30 hari diculik.
“(Yang di) Suriah masih dalam proses,” ujarnya tanpa menyebut siapa penculiknya.
Robin Waudo pun mengungkap sepak terjang ICRC selama ini, khususnya dalam kasus penculikan. ICRC, katanya, sudah punya mekanisme untuk menangani kasus itu.
Biasanya, paparnya, ICRC akan mencari tahu siapa yang menculik. ICRC pun menghidupkan jaringannya (network) yang terlibat dalam suatu konflik. Untuk mencari informasi penculik, mereka juga menggali dari orang yang mereka tahu maupun yang belum mereka kenal.
“Di Suriah ada tim yang berbicara dengan orang-orang yang terlibat dengan konflik di lapangan. Di Jenewa (Swiss, pusat ICRC. Red) kita juga berbicara dengan pihak lain. Biasanya pihak-pihak yang bertempur di Suriah punya perwakilan di Eropa,” bebernya mencontohkan.
Selain dua tim di Suriah dan Swiss, lanjutnya, ada juga tim yang berbicara dengan keluarga korban.
“Kita kasih tahu apa yang kita lakukan, misalnya tidak berbicara kepada media,” ujarnya.
Jika telah berhasil menemui penculiknya, lanjutnya, langkah ICRC kemudian adalah melakukan negosiasi.
Namun, jelas Robin Waudo, dalam negosiasi tersebut, ICRC tidak masuk ke permasalahan konflik. Tapi lebih pada persoalan kemanusiaannya. Misalnya, memastikan korban penculikan bisa terhubung dengan keluarga, atau menjaga kondisi fisik dan mental korban.
“Ini biasanya berhasil,” ungkapnya, seraya mencontohkan sebuah kasus penculikan di Sudan dan Filipina.
Robin Waudo mengatakan, dalam proses pembebasan korban, ICRC tidak akan memberikan tebusan. Sebab hal ini akan memicu penculikan-penculikan selanjutnya.
“Ini kerangka teoritis kita. Biasanya di lapangan dibutuhkan sumber daya, waktu, tenaga (yang lebih dari teori. Red), untuk dapat hasil positif atau negatif. Hasil negatif misalnya teman meninggal,” ujarnya.*