Hidayatullah.com- Keterampilan menulis bukan sebatas persoalan teknis, tapi juga soal rasa. Hal ini disampaikan Pemimpin Redaksi (Pemred) Kelompok Media Hidayatullah (KMH) Mahladi dalam sebuah pelatihan jurnalistik di Desa Kalibuntu, Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
“Karena menulis itu adalah rasa, maka dia menjadi hobi,” ujarnya di depan belasan santri Hidayatullah asal Cirebon (Jawa Barat), Brebes, dan Tegal, Kamis (22/5/2014) pagi.
Pernah, tutur Mahladi, seorang mahasiswa dalam sebuah pelatihan jurnalistik bertanya padanya tentang cara menulis yang bagus. Mahasiswa ini mengaku, tulisan yang dikirimkannya ke media selalu ditolak.
Mahladi lantas balik bertanya, apakah mau dijawab secara teknis atau normatif. Kalau secara teknis, kata Mahladi pada penanya, harus dilakukan pertemuan khusus selama 6 bulan.
“Itu belum tentu bisa (menulis bagus),” tambahnya.
Lalu, lanjut Mahladi dalam ceritanya, kalau pertanyaan tersebut mau dijawab secara normatif, insya Allah mahasiswa tadi akan bisa menulis bagus.
“Kalau Anda lakukan apa yang saya katakan, insya Allah Anda akan bisa. Caranya adalah luruskan niat (menulis),” ungkap Mahladi.
Mendengar jawaban itu, mahasiswa yang bertanya tadi lantas tesenyum. Merasa sedikit kecewa atas jawaban tersebut.
Mahladi pun menjelaskan, kalau tujuan seseorang menulis untuk dimuat di media hanya sekedar honor, pasti akan berhenti dan kecewa jika tulisannya tak dimuat.
“Kalau tujuan kita untuk mendapat honor yang besar. Tapi begitu honornya cuma Rp 100 ribu, padahal sudah menulis susah payah, (akan) kecewa,” ujarnya.
Begitu pula, tambah Mahladi, kalau tujuan menulis supaya dikenal sama orang, akan bisa mengecewakan.
Mahladi pun berpesan, menulis harus diniatkan untuk menegakkan kalimat Allah. Sebab ini bagian dari jihad.
“Sebagai pertanggungjawaban di depan Allah nanti, ketika ditanya apa jihad anda,” jelasnya.
“Maka Anda akan katakan, ‘seribu kali ditolak, maka seribu kali saya kirimkan tulisan (ke media)’,” tambahnya menyemangati para peserta pelatihan.
Jawaban inilah yang disampaikan Mahladi kepada mahasiswa tersebut. “Saat itulah, dia sadar (bahwa) menulis itu bukan teknis, menulis itu adalah rasa,” tuturnya, seraya menambahkan, bahwa teknis dalam penulisan tetap penting.
Rasa dan Gaya Menulis
Menghadirkan rasa dalam tulisan, maksud Mahladi, dengan menjadikan tulis-menulis sebagai suatu kegemaran. Untuk mencapai itu, seorang santri atau pelajar misalnya, harus sering-sering menulis.
“Artinya, orang yang tidak hobi menulis, akan sulit menjadi penulis yang handal,” ujarnya dalam acara yang digelar sederhana tersebut.
Penulis pemula, kata dia, jangan berpikir menulis sesuatu, lalu mengirimkannya ke media dengan harapan dimuat. Tapi yang terpenting, niatnya dulu diperbaiki.
“Harus menanamkan dulu niat yang lurus. Memang normatif, tapi penting,” ujarnya.
Mahladi menjelaskan, karena menulis adalah rasa, jangan sampai penulis tidak punya gaya sendiri dalam menulis.
Sehingga dari literatur manapun referensi yang diambil untuk sebuah tulisan, ketika dituangkan kembali, penulis punya gayanya sendiri.
Mahladi menjelaskan, tulisan disebut menarik jika berhasil mempengaruhi pembaca.
“Ketika kita menulis, lalu serahkan ke teman kita, lalu reaksi dia marah setelah membaca tulisan kita, (berarti) berhasil,” jelasnya.
Begitu pula kalau pembaca menangis atau tertawa setelah membaca tulisan tersebut.
“Tapi kalau pembaca biasa saja, tidak menunjukkan ekpresi apa-apa, berarti kita belum berhasil,” ungkapnya.*
Mahladi (baju putih) saat di Brebes-by Syakur)