Hidayatullah.com–Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ismail Yuswanto mengatakan organisasinya mengkritik keras keterangan-keterangan aliran Syiah sebagaimana yang mereka yakini dalam keterangan-keterangan yang disebut Ghadir Khum, terutama terkait klaim Khalifah Ali Bin Abi Thalib pembawa wahyu.
Terhadap hadits Ghadir Khum, kata Ismail, HTI memberi kritik yang sangat tajam. Di mana, lanjutnya, hal itu tertulis dalam Kitab Sahsiyah jilid 2 kitab induknya HTI, dimana syariah itu tidak menetapkan atau tidak menunjuk orang tertentu sebagai khalifah. [Baca: HTI Kritik Idiologi Syiah Yang Dinilai Keliru]
“Dalam kajian hizbut tahrir, wali itu mengandung makna ada 16, dan tidak ada satu pun dari 16 itu bermakna pemimpin,” kata Ismail.
Kecuali, lanjutnya, kalau wali itu diikuti kata amr (waliyul amr ,red) baru kata tersebut memiliki konotasi pemimpin. Dan sepanjang tidak ada tambahan kata amr, maka menurutnya, kata itu tidak memiliki apapun pengertian yang berkaitan dengan pemimpin (pemerintah, red).
“Karena itu, maka klaim-klaim Syiah bahwa Ali itu mendapatkan wahyu yang menunjuk dia sebagai khalifah itu gugur,” tegas Ismail.
Sementara itu, menurut Ismail, apa yang dimaksud dengan wali di situ, adalah seorang pemimpin keluarga, karena memang Ali merupakan menantunya Rasulullah dan termasuk ahlul bait. Sepeninggal Rasulullah, maka lanjutnya, Ali itu adalah pemimpin keluarga.
“Sebenarnya itu sesuatu yang tidak sulit dipahami tetapi dalam dramatisasi Syiah itu seolah-olah adalah wahyu yang menunjukkan Ali bin Abi Tahlib itu sebagai khalifah. Dari situlah sebetulnya cerita itu bermula, ketika klaim Ali sebagai khalifah runtuh maka runtuhlah semuanya,” kata Ismail. [baca juga: Hadits Ghadir Khum Dalam Pandangan Sunni]
Jadi, menurut Ismail, bisa dikatakan bahwa Syiah membangun paradigma teologisnya berawal dari titik itu, lalu dari sanalah mereka membangun musthola’ah hadits sendiri dan menyingkirkan atau menyisihkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat yang dianggap turut terlibat dalam melakukan kejahatan terhadap Ali bin Abi Thalib.*