Hidayatullah.com–Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor Aceh, Samsul B Ibrahim menilai rencana gugatan terhadap Qanun Jinayat yang dilakukan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) tidak berdasar.
Seharusnya Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi Widodo Eddyono yang menabalkan diri paham hukum memahami konteks kekhususan Aceh melalui Undang-undang Pemerintah Aceh.
“Itu artinya dia tidak paham hukum. Dia tidak memahami kekhususan Undang-undang Pemerintah Aceh dan esensi dari Qanun Jinayat itu sendiri. Karena kami melihat, sesungguhnya Qanun Jinayat memuat semangat preventif sehingga tercipta kondisi social yang islami,” tutur Samsul, belum lama ini. [Baca: Didugat ICJR, Santri Aceh Dukung Pemerintah Terapkan Qanun Jinayat]
Masih menurut Samsul, secara umum Qanun Jinayat benar-benar mengandung enam prinsip hukum yakni asas keislaman, legalitas, berkeadilan, kemaslahatan, pembelajaran (tadabbur), bahkan perlindungan hak asasi manusia yang begitu diagung-agungkan oleh Supriyadi.
Dengan demikian, tudingan Supriyadi yang menyebutkan Qanun Jinayat rentan menyasar korban perempuan, anak-anak dan LGBT justru terbantah dengan sendirinya. Dalam konteks perempuan dan anak-anak, justru Qanun Jinayat benar-benar menjadi proteksi hukum. Qanun Jinayat menjunjung tinggi hak-hak perempuan dan anak.
“Misalnya dalam kasus tuduhan berzina, namun korban mengaku diperkosa. Qanun Jinayat memegang prinsip keadilan dengan memberikan hak kepada perempuan untuk memberikan alat bukti pemerkosaan, dan para penyidik berkewajiban melakukan penyidikan. Ini bentuk proteksi terhadap perempuan,” jelasnya.
“Tapi saya lihat semangat Supriyadi hanya untuk memperjuangkan isu-isu lesbian dan homoseksual. Isu ini tidak pernah bisa berdiri sendiri. Selalu menumpang pada isu-isu perempuan dan anak. Mungkin ada sponsor yang memesan ini kali ya,” sambungnya lagi.
Selanjutnya, Samsul juga membantah tudingan Supriyadi yang menyebutkan bentuk hukuman atas pelanggaran Qanun Jinayat mengandung esensi merendahkan martabat manusia. Dalam Qanun Jinayat sendiri, hukuman yang dimaksud tidak serta-merta berupa cambuk. Sanksi Jinayat pada dasarnya dibagi dalam dua hal. Kedua hal tersebut yakni Hudud dan Ta’zir. Hudud sendiri masih pada tahapan cambuk, bukan rajam atau potong tangan.
Sementara itu sanksi Ta’zir sendiri terdiri dari Ta’zir Utama dan Ta’zir Tambahan.
“Kalau Supriyadi benar-benar memahami subtansi Qanun Jinayat, dia akan paham bahwa hukuman itu tidak serta merta cambuk. Ada proses dan pilihan hukuman yang tepat dan bijak diberikan sebagai bentuk pelajaran social,” tukas Samsul.
Pun bila dalam implementasi saat ini, terdapat beberapa diskriminasi kasus seperti yang terjadi di Banda Aceh terkait kasus Haji Bakry yang belum melalui proses cambuk, akan sangat naïf bila kemudian Supriyadi dan lembaganya menyalahkan Qanun Jinayat. Harusnya, melakukan gugatan hukum Supriyadi dilakukan terhadap Wali Kota Banda Aceh saat ini, Illiza Sa’adudin Djamal.
“Masak gara-gara ada fair trial atau diskriminasi, kemudian mereka menyalahkan Qanun Jinayat? Kalau begitu, kenapa dia nggak menggugat KUHP yang juga sering diskriminatif terhadap orang miskin. Sekali lagi, itu artinya Supriyadi nggak paham hukum,” tutupnya.
Sebelumnya, kepada beberapa media, Institute Criminal Justice Reform (ICJR) berencana menyipakan upaya hukum judicial review terhadap Qanun Aceh No 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Gugatan ICJR menurut Syamsul menyadarkan kita bahwa tidak mudah memberlakukan syari’at Islam di Aceh.
Dengan pemberlakuan Syari’at Islam sebenarnya ada janji Allah Swt bahwa akan diturunkanNya keberkahan dari langit dan dari bumi sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa (yang dibuktikan dengan pemberlakuan hukum-hukum Islam dalam konteks kehidupan bernegara). Maka jika kita melihat ada yang menolak implementasi hukum Islam, sebenarnya itulah mereka sedang mencoba menghadang hadirnya keberkahan dari Allah tersebut. Tapi mereka lupa, bahwa Allah akan membelas setiap upaya makar yang menolak implementasi hukumNya di atas permukaan bumi.*/Zulkhairi