Hidayatullah.com- Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjend) Komisi Kerukunan Umat Beragama MUI Pusat Dr. Nadjamuddin Ramly, M.Si mengatakan bahwa kasus Singkil berbeda dengan tragedi Tolikara
Menurutnya, tragedi Tolikara terjadi karena ada pelarangan ibadah bagi umat Muslim yang hendak merayakan dan menunaikan shalat Idul Fitri. Sebagaimana diketahui, kebebasan menjalankan ibadah sesuai keyakinan telah diatur dan dilindungi dalam konstitusi negara yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Kasus Tolikara ini terjadi karena aparat tidak bertanggungjawab dan tidak becus dalam menegakkan konstitusi negara sehingga salah satu kelompok minoritas di Tolikara yaitu umat Islam menjadi terancam,” ujarnya.
Menurut Nadjamuddin, menunaikan ibadah itu adalah hak asasi manusia. Sehingga melarang merayakan dan menunaikan sholat Idul Fitri apalagi membakar rumah ibadah pada saat hari suci sebuah agama itu pelangaran berat hak asasi manusia.
Sementara menurut Nadjamuddin, kasus yang terjadi di Singkil, Aceh itu semata-mata pelanggaran hukum. Andaikan Pemerintah Kabupaten Singkil sejak awal bisa mengantisipasi pembangunan gereja yang tanpa izin itu, sebagaimana yang diakui Jeirry Sumampow, tragedi Singkil tidak akan terjadi.
“Sebab beberapa elemen masyarakat jelas sudah memberikan peringatan kepada Pemkab Singkil dan konferen waktu kepada pihak gereja,” tuturnya. [baca: PGI Akui Ada 24 Gereja Tak Berizin di Wilayah Singkil].
Jadi, menurut Nadjamuddin, tragedi Singkil ini terjadi karena pihak gereja tidak memenuhi persyaratan izin mendirikan rumah ibadah dan aparat juga tidak menegakkan aturan hukum yang berlaku maka beberapa orang emosi dan melakukan aksi sepihak.
“Kasus Singkil itu jelas dipicu pelanggaran hukum pihak gereja yang tidak berijin. Sebab ada aturannya SKB Dua Menteri yaitu Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Jadi SKB Dua Menteri itu seharusnya diindahkan dan dipatuhi,” tandasnya.*