Hidayatullah.com—Rais Aam Syuriyah PBNU Dr. (HC) KH. Ma’ruf Amin mengatakan, diantara tradisi ulama di masa lalu adalah melakukan perbaikan, baik dengan dakwah maupun perang dan menjaganya.
“Tradisi ulama sejak dulu ada dua, yaitu: Pertama, menyiapkan orang yang paham ilmu agama dan melakukan perbaikan, baik dengan dakwah maupun perang/perjuangan (i’dad al mutafaqqihin wa al mushlihin da’watan wa qitaalan). Kedua, menjaga dan memperbaiki umat, baik aspek agama maupun kemasyarakatan (himayat al ummah wa ishlahiha diiniyyatan wa ijtima’iyyatan),” demikian disampaikannya dalam acara Seminar Nasional Ittiba’ Ulama: Meneguhkan Aqidah Merawat Tradisi di PP Bayt al Hikmah asuhan Gus Idris Hamid, Ahad (20/12/2015)
“Tradisi ini harus dijaga, tidak boleh terputus, agar umat tidak menjadikan pemimpin-pemimpin yang bodoh, yang memberikan statemen tanpa ilmu, hingga mereka pun sesat dan menyesatkan, seperti diingatkan dalam hadits.”
“Sekarang tidak ada perang. Tapi spirit ini harus dijaga di pesantren, bahwa cinta negara merupakan bagian iman,” tambah pria yang juga Ketua Umum MUI Pusat ini.
“Umat harus dijaga dari aliran sesat dan pemikiran menyimpang. Maslahat yang tidak bertentangan dengan syariat diakomodasi oleh syariat. Idza wujidat mashlahah lam tu’aridih an nash fa tsamma syar’ullah (jika terdapat mashlahat yang tidak bertentangan dengan nash maka di sana terdapat syariat Allah). Ini berbeda dengan kelompok liberal yang membatalkan nash demi mashlahat (naqdh nash bi al mashlahah). Beristri lebih dari satu kata orang liberal berlawanan dengan maslahat, akhirnya nashnya dibatalkan.”
“Sayyidina Umar dalam pendapat beliau di masanya, bukan membatalkan nash dengan mashlahat, namun tahqiq al manaath, atau verifikasi tentang relevansi teks.”
“NU mengakomodasi tradisi selagi tidak bertentangan dengan nash. NU tidak seperti Salafi-Wahabi yang tekstualis, tidak seperti kelompok takfiri yang radikalis, tidak seperti liberal yang mengubah-ubah nash,” ujarnya.
“Saya mengajak mari paradigma kita selama ini ditambah. Pertama, ada al muhafazhah ‘ala al qadiim al shaalih (memelihara yang baik dari yang sudah ada dan mengambil yang baik dari yang baru). Kedua, al akhdzu bi aljadid al ashlah (mengambil nilai-nilai baru yang membawa kebaikan). Dua paradigma ini sudah tepat. Saya menambahkan yang ketiga, melakukan al ashlah ila maa huwa al ashlah, tsumma al ashlah fa al ashlah (mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik). Mengapa? Karena yang sekarang paling maslahat, boleh jadi besok tidak jadi yang ashlah lagi. Jadi ada perbaikan terus.”
“Problem kita saat ini, banyak dalam jumlah tapi sedikit dalam peran (katsir fi al jumlah qalil fi ad daurah).”
“Salah satu karakter NU itu dinamis (tathawwuri), bukan tekstualis dan tidak liberalis, tapi metodologis (manhaji),” ujarnya.
Kiai Ma’ruf juga menyinggung Islam Nusantara yang menurutnya itu hanya casing (bungkus) isinya Islam Ahlus sunnah Wal Jama’ah an Nahdliyyah (Aswaja ala NU).*/ Faris Khoirul Anam