Hidayatullah.com – Kasus salah tangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 terhadap 2 orang berinisial NS dan GL di Jalan Honggowongso, Solo pada Selasa (29/12/2015) kemarin dinilai sebagai bukti tidak profesionalnya Densus 88.
Demikian diungkapnya Harits Abu Ulya, Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) dalam rilisnya kepada hidayatullah.com, Rabu, (30/12/2015).
“Untuk dua orang yang salah tangkap tentu melahirkan kerugian moril yang tidak bisa diukur dengan uang pada diri korban. Begitu juga kerugian materiil yang mereka alami,” ujarnya.
Harits menjelaskan, bahwa secara Undang-undang korban salah tangkap berhak menggugat, mendapat hak rehabilitasi nama baik dan ganti materiil.
“Tapi dalam isu terorisme yang tampak sampai saat ini adalah kedzaliman murakab (bertumpuk, red). Sudah jadi korban salah tangkap, kemudian dilepas begitu saja,” ungkapnya.
“Permintaan maaf saja tidak, apalagi terpenuhinya hak lebih dari itu,” tambah Pemerhati Kontra Terorisme ini.
Menurutnya, tampak sekali dalam isu terorisme saat ini penindakan hukum menunjukkan kulminasi penguapan keadilan di Indonesia.
Ia mencotohkan bagaimana sikap aparat terhadap terorisme OPM di Papua yang cenderung lembek dan berdalih kerja tidak boleh berdasarkan asumsi dan dugaan, tapi beda perlakuan terhadap para terduga teroris yang disematkan kepada kelompok ekstrimis Islam yang langsung ditindak bahkan hingga terjadi salah tangkap.
Kondisi seperti ini, terang Harits, akan terus bergulir sepanjang rezim saat ini setia berputar pada orbit kepentingan asing.*