Hidayatullah.com– Sistem Pemilu Serentak 2019 membuat panitia pemungutan suara (PPS) dan panitia pemilihan kecamatan (PPK) memikul beban pekerjaan dan tanggung jawab yang sangat berat, kontras dengan honor mereka yang dinilai minim.
Tidak sedikit petugas PPS dan PPK tumbang karena sakit, mulai dari proses persiapan dan pencoblosan hingga penghitungan suara. Bahkan lebih 100 orang meninggal dunia akibat kelelahan selama proses pencoblosan hingga penghitungan.
Turmuzi, salah seorang anggota PPK Kecamatan Narmada, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), misalnya, mengakui honornya tidak sebanding dengan tanggung jawab yang diberikan.
Turmuzi pun mengeluhkan hal itu meski tetap harus dijalankan sebagai kontribusi untuk kepentingan bangsa.
“Wajar ada rekan kami yang sakit akibat kelelahan saat bertugas karena harus bekerja dari pagi sampai larut malam tanpa henti. Sementara istirahat kurang dan tidak ada jaminan kesehatan,’’ ungkapnya, Rabu (24/04/2019).
Turmuzi mengungkap, honor menjadi PPS dan PPK sama dengan Pemilu 2014 lalu, yakni sekitar Rp 550.000 sebelum dipotong PPN dan PPh 12 persen. Untuk PPK sebesar Rp 800.000 sebelum dipotong PPN dan PPh 12%. Sementara jaminan kesehatan tidak ditanggung pemerintah.
Menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Lombok Barat, Bambang Karyono, pihaknya sudah bersurat ke Bupati Lombok Barat Fauzan Khalid dan ditembuskan ke kepala Dinas Kesehatan Lombok Barat.
Namun kata dia sampai hari ini belum ada tanggapan.
Pihaknya pun mengaku sangat prihatin dengan anggota PPS dan PPK yang dibawa ke rumah sakit, namun tidak ditanggung biaya pengobatannya.
“Padahal, mereka pejuang demokrasi dalam mengawal suara rakyat,’’ ungkapnya kutip INI-Net.
Bambang mengakui memang tidak dianggarkan melalui anggaran KPU untuk jaminan kesehatan bagi PPS dan PPK.*