Hidayatullah.com- Baru-baru ini umat Islam, khususnya jamaah al-Wahdah Islamiyah ramai membincangkan soal tayangan slide di Metro TV yang menjelaskan soal ‘Jaringan Teroris di Indonesia’ sebelum pengaruh ISIS tahun 2013 lalu.
Pasalnya, dalam tayangan slide ‘Jaringan Teroris di Indonesia’ itu dicatut beberapa nama kelompok umat Islam. Salah satu di antaranya adalah Wahdah Islamiyah, yang basisnya ada di kota Makassar Sulawesi Selatan.
Menanggapi persoalan itu, Pemerhati Kontra Terorisme Harits Abu Ulya mengatakan bahwa hal ini tentu akan melahirkan kontraksi terhadap al-Wahdah Islamiyah khususnya maupun umat Islam lainnya. Sebab paparan Metro TV dianggap cenderungan tendensius dan fitnah kepada sekelompok umat Islam.
Dikatakan Harits, umat Islam perlu sadar bahwa media hari ini bukanlah sekedar pengabar berita atau informasi tentang satu peristiwa secara akurat, tetapi media juga mengambil peran mengkontruksi opini atau propaganda sesuai dengan kepentingan politik atau ekonomi di baliknya.
“Nah, yang menjadi persoalan sekarang adalah ketika konstruksi opini atau pemahaman publik itu tidak ditopang dengan basis data yang memadai,” ujar Direktur CIIA.
Dari titik ini, lanjut Harist, sadar atau tidak sering kali media terjebak pada pusaran sensasi, fitnah dan penyesatan terhadap publik. Belajar dari kasus Metro TV, menurutnya, bisa jadi pihak dari Metro TV mengambil data secara serampangan yang dimiliki pihak aparat dalam hal isu terorisme dari BNPT, Mabes Polri atau Polda Metro.
“Atau mungkin hanya mengambil hasil riset internal Metro TV dalam isu terorisme,” imbuh Harits.
Kendati demikian, Harits menegaskan bahwa selama ini kaitannya dengan isu terorisme di Indonesia, narasinya yang di adopsi oleh media datang dari sumber tunggal yaitu kalau bukan Polisi, dari BNPT. Menurutnya, jarang menampilkan sumber-sumber pembanding dari pihak di luar secara proporsional.
“Somasi atau langkah hukum lainnya bagi pihak yang merasa dirugikan itu wajar, agar ini menjadi kritik atau teguran yang membangun. Dan ke depan media bisa tampilkan substansi yang bisa dipertanggungjawabkan minus tendensi dan fitnah dalam mengkonstruksi opini publik,” tutup Harits.*