Hidayatullah.com – Ketua Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) Universitas Indonesia, Banu Muhammad mengatakan, esensi dari bangunan peradaban salah satunya adalah bagaimana membiayai proses, dan di zaman para sahabat dahulu memulainya dengan wakaf atau sedekah.
Ia bercerita, di masa akhir khalifah Umar bin Khatab, pernah Umar tercengang dengan banyaknya harta yang berada di Baitul Maal. Sehingga ia bertanya kenapa bisa demikian.
“Ternyata bukan karena harta rampasan perang mereka, itu iya, tetapi itu hanya seperlima saja, sisanya adalah milik para sahabat yang dikumpulkan di Baitul Maal.” papar Banu dalam sebuah Seminar Wakaf di Hotel Balairung, Jakarta, Kamis (12/05/2016).
“Pertanyaannya kenapa para sahabat tidak mengambil harta tersebut, tapi justru dikumpulkan di Baitul Maal. Mereka menjawab, Umar yang lebih tahu cara membaginya,” tambahnya.
Dosen Fakultas Ekonomi UI ini menjelaskan, bahwa tradisi wakaf sangat kental di kalangan para sahabat. Hal itu, menurutnya, juga karena prinsip hidup para sahabat yang tidak membutuhkan banyak harta.
“Jadi kalau kita simpulkan yang bisa membuat wakaf membangun peradaban atau tidak, itu karakter masyarakatnya. Kalau kita orang yang cinta dunia, maka berapa pun harta tidak akan pernah cukup. Tapi bagi para sahabat mereka butuhnya apa sih, biar Umar yang membagikan,” terang Banu.
Sehingga, sambungnya, harta wakaf yang banyak yang terkumpul di Baitul Maal itu, dialokasikan oleh Umar untuk pembangunan infastruktur, subsidi pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya.
“Akhirnya peradabannya berjalan dengan sangat hebat,” pungkasnya.
Turut hadir dalam seminar itu, Dr. KH. Amin Suma (Dewan Pengawas Syariah Dompet Dhuafa), Jurist E. Robbyantono (Ketua Divisi Pengelolaan dan Pemberdayaan Wakaf BWI), serta Ahmad Shonhaji (GM Social Development Dompet Dhuafa, Penulis Buku dan Pegiat Wakaf Produktif).*