Hidayatullah.com– Pengelolaan sumber daya air dinilai masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus serius dalam mengatasi problem ini.
“Pemerintah tidak boleh setengah hati menjalankan perintah konstitusi untuk segera menghentikan swastanisasi sumber daya air,” ujar Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Bidang Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Andi Fajar Asti.
Ia mengatakan, pemerolehan air adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM). Sehingga, siapapun menghalang-halangi makhluk hidup atas pemenuhan air, maka sesungguhnya terjadi pelanggaran HAM yang sangat serius.
“Dibatalkannya UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan kembali memberlakukan UU No 11 tahun 1974 tentang Pengairan, adalah bukti bahwa ada masalah besar dalam sistem pengelolaan air di negeri ini,” paparnya dalam siaran persnya diterima hidayatullah.com Jakarta, Kamis (23/03/2017).
MK, kata Andi, dalam putusannya dengan terang benderang menyebutkan, Pembatalan UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air karena menganggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD Tahun 1945 bahwa air harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Menurutnya, pengembalian penguasaan air ke negara bukan berarti swasta tidak boleh lagi terlibat dalam penyediaan air. Partisipasi swasta boleh tapi bukan di wilayah penguasaan.
“Swasta bisa terlibat dalam transfer teknologi yaitu terlibat dalam pembangunan infrastruktur sumber daya air,” ujarnya.
Ia mengatakan, jika pemerintah tidak serius mengurusi air, akan menjadi ancaman bagi kelestarian dan ketersediaan air bagi kehidupan. Terutama konsumsi air tanah yang sudah sangat mengkhawatirkan.
Baca: Untuk Mandi, Warga Desa Tliu Harus Jalan Kaki 10 Kilometer ke Sungai
“Jika air tanah dalam perut bumi habis disedot untuk konsumsi, maka terbentuklah rongga-rongga yang berpotensi mengancam strukturisasi tanah dan akhirnya berakibat pada stabilitas bangunan di atasnya,” ulasnya.
Sehingga, lanjut Andi, satu-satunya solusi untuk menjaga kelestarian dan eksistensi air tanah adalah pembatasan penggunaan air tanah.
Selain itu, imbuhnya, juga dengan memaksimalkan penyediaan air melalui pipanisasi baik sektor rumah tangga maupun sektor industri.
“Terutama di kota-kota besar seperti DKI Jakarta,” ujarnya.
Di DKI Jakarta, menurut Tifa Foundation yang dikutip Andi, dari hasil riset tahun 2011, ditemukan, potensi kerugian negara akibat pencurian air tanah dari sektor industri menembus Rp 1,4 triliun.
Baca: Sulitnya Air Bersih di Adonara, Bangun Sumur Bisa Habis Rp 25 Juta
Data terbaru 2015 dengan metode yang sama hasil riset sebuah media, ungkapnya, berdasarkan data Dinas Pajak DKI Jakarta, ditemukan potensi kerugian negara dalam sektor pajak mencapai Rp 821 miliar.
Pernyataan Ketua Pemuda Muhammadiyah itu dikeluarkan dalam rangka Hari Air Sedunia yang diperingati setiap tanggal 22 Maret.*