Hidayatullah.com– Dosen Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Ma’mun Murod, menjelaskan bahwa terdapat dua paradigma besar di dalam konteks relasi agama dan negara.
“Yang satu adalah negara teokrasi, formalistik, wujudnya itu seperti Vatikan, Arab Saudi, Iran,” jelasnya pada diskusi bertema “Islam dan Keindonesiaan: Reaktualisasi Amanat Konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” di kompleks DPR, Jakarta, Kamis (08/06/2017).
Kemudian, sambungnya, ada pemikiran sebagai jawaban atas pemikiran yang teokratik tadi.
Maka, katanya, muncul pemikiran sekuleralistik seperti yang terjadi pada Katolik Roma. “Yang mencoba memisahkan secara total antara agama dan negara,” imbuhnya.
Kemudian, terang Ma’mun, sebagai bentuk penengahnya muncul apa yang disebut dengan substansifistik.
Sesungguhnya, jelasnya, kalau mengkaji Pancasila akan terlihat bahwa Pancasila itu bentuk penengah dari dua titik ekstrem tadi.
Baca: Menag Sebut Indonesia Bukan Negara Islam Tapi Bukan Negara Sekuler
“Apa yang disebut dengan negara Pancasila sesungguhnya itu penegasan yang paling mendasar bahwa negara Pancasila adalah bukan negara agama,” imbuhnya. Tapi, sambungnya, negara Pancasila juga bukan negara sekuler sebagaimana negara di Eropa Barat.
“Tapi negara Pancasila adalah negara yang menempatkan agama kepada posisi yang sangat penting,” pungkasnya.* Ali Muhtadin