Hidayatullah.com– Master bidang tafsir al-Qur’an lulusan Universitas Al-Azhar Kairo, Fahmi Salim Zubair MA, menegaskan, Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka tidak menggunakan metode hermeneutika.
Metode hermeneutika, jelasnya, adalah mengubah-ubah makna teks (hukum Islam) agar sesuai dengan kepentingan dan kondisi. Sedangkan Hamka, kata Fahmi, seratus persen percaya dengan kebenaran teks dan menjadikan realitas sebagai pendukung teks.
Ia mencontohkan, ketika Hamka menafsirkan ayat arrijalu qawwamuna ‘alannisa (laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan), Hamka mengungkap, kepemimpinan tersebut tidak hanya untuk manusia tapi juga hewan. Hewan jantan memimpin hewan betina. Seperti bebek jantan yang berdiri di depan kerumunan bebek betina yang mencari makan.
“Itulah fitrahnya laki-laki itu jadi pemimpin bagi perempuan,” ucap Fahmi dalam acara seminar sehari tentang Warisan Intelektual dan Keulamaan Buya Hamka, di aula Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Jakarta, penghujung pekan kemarin.
“Jadi kalau ada yang menulis ‘Tafsir Hermeneutik dalam Tafsir Al-Azhar’, mana ada?” tambahnya.
Menurutnya, seorang penafsir al-Qur’an yang kompeten dan piawai ialah justru yang bisa mempertahankan postulat-postulat hukum dalam al-Qur’an.
Tidak seperti tafsir klasik yang berisi rumus-rumus menyerupai ensiklopedi, Fahmi menilai, tafsir Hamka tidak kering karena mendialogkan teks dengan realitas.
Peneliti INSISTS ini menggolongkan Tafsir Al-Azhar ke dalam tafsir modern. Sebab tafsir ini menekankan fungsi al-Qur’an sebagai hidayah, meluruskan tuduhan-tuduhan miring yang dilontarkan oleh orientalis, dan menjadi barometer untuk menyeleksi pemikiran-pemikiran Barat.
“Jadi salah, kalau sekarang kelompok JIL mengatakan bahwa tafsir modern itu kita harus beradaptasi dengan konsep-konsep dari Barat,” pungkasnya.* Andi