Hidayatullah.com– Anggota Komisi Hukum DPR periode 2004 – 2009 yang juga Wakil Sekretaris Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama PBNU, Djoko Edhi Abdurrahman, turut menyoroti polemik proyek reklamasi.
Djoko mengatakan, modus proyek pulau reklamasi tak hanya terjadi di Jakarta bahkan sudah berpindah.
“Terganjal Gubernur Jakarta Anies Baswedan, modus proyek pulau reklamasi, pindah ke Provinsi Kepri (Kepulauan Riau). Saya mencocokkan data Perpers Kebijakan Kelautan Indonesia Nomor 16 Tahun 2017, yang diratifikasi Presiden Jokowi bulan lalu, termuat di www.peraturan.go.id, dengan proyek ‘Pendalaman Jalur Laut Kepri’,” ungkapnya kepada hidayatullah.com, Kamis (18/01/2018) dalam pernyataan tertulisnya.
Jika di proyek pulau reklamasi teluk Jakarta, kata dia, para tycoon (gembong, Red) menunggangi (mantan) Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), sedangkan di proyek pengerukan jalur laut Kepri itu, para tycoon yang sama, menunggangi Gubernur Kepri Nurdin Basirun.
Baca: Senator DKI Ajak Warga Jakarta Dukung Penuh Hentikan Reklamasi
Modusnya, kata dia, laut Kepri dikeruk lalu hasil kerukan, yaitu pasir laut, dijual ke pulau reklamasi Singapura. Saat Perpers itu diterbitkan, pasir sudah laku terjual, sekitar Rp 2 triliun per month (bulan). Sudah deal (disepakati, Red) 60 persen dengan otoritas artificial land Singapore. Big sale setengah tahun lalu.
Tapi, lanjutnya, kepastian Perpers itu terbit setelah Gubernur Anies ternyata tak bisa diatur. Mereka rugi besar di proyek reklamasi Teluk Jakarta. Bahkan Hak Guna Bangunan (HGB)-nya sudah harus dicabut setelah sebelumnya dimoratorium (mantan) Menko Maritim Rizal Ramli dengan terkuaknya kasus korupsi Alirman, Dirut Agung Sedayu Group, tahun 2015.
“HGB-nya cacat administrasi yang menuntut BPN (Badan Pertanahan Nasional) kudu melakukan eksaminasi untuk pembatalan HGB,” imbuhnya.
Baca: BPN Dinilai Punya Celah Hukum Batalkan HGB Pulau Reklamasi
Djoko mengatakan, Perpers Kebijakan Kelautan itu adalah Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan, pada identifikasi proyek pengerukan Pendalaman Jalur Laut Kepri. Akal-akalan, kata dia.
“Sekilas tak kelihatan karena Perpres adalah kebijakan (beschikking) berupa regeling (peraturan, Red). Baru tampak keanehannya begitu dicermati dimana Penpres (Penetapan Presiden) memuat Rencana Aksi yang mestinya Tupoksi Pemda Kepri dan sejumlah paradoks Tupoksi antarlembaga,” ungkapnya.
Lanjutnya, proyek pengerukan yang dinamakan “pendalaman jalur laut” adalah Tupoksi Departemen Perhubungan. Karenanya harus dibiayai oleh APBN. Sedangkan pasir kerukannya adalah Tupoksi Departemen Sumber Daya Mineral dan Pertambangan, harus menggunakan duit negara lagi.
Dalam Perpers, dinyatakan bahwa pengerukan bekerja sama dengan swasta, dan Kementerian Keuangan menyediakan municipal bond (obligasi daerah) yang bisa digunakan 70-an Izin Usaha Pertambangan (IUP) lokal Kepri. “Jadi, negara hanya kebagian membayar,” imbuhnya.
Baca: Gubernur Anies Minta BPN Batalkan Sertifikat HGB Pulau Reklamasi
“Sedang para tycoon memetik laba dari buyer (pembeli) Singapore yang Rp 2 triliun per month. Canggih. Sementara jalur laut yang diperdalam itu, tak memiliki business plan (rencana bisnis), nyaris mustahil kapal internasional akan transit ke situ yang kini transit di Singapore yang merupakan pusat ACU (Asia Currency Units). Konyolnya, 90 persen IUP lokal tadi tak bisa ikut serta. Berteriak mereka: kami dirampok!” tandasnya.
“Ralat di tulisan saya (yang sebelumnya beredar, Red): tertulis ‘per day (hari)’, yang benar adalah ‘per month‘,” terang Djoko kepada hidayatullah.com. Hingga berita ini dimuat media ini sedang dalam upaya untuk memperoleh klarifikasi pihak yang disebut oleh Djoko tersebut.*