Hidayatullah.com– Kasus prostitusi berbasis online di Aceh Barat, Lhokseumawe, Aceh Besar, dan Banda Aceh terungkap baru-baru ini. Ketua Keluarga Besar Alumni (KBA) Kesatuan Aksi Pelajar Muslim Indonesia (KAPMI) Aceh, Sanusi Madli, mengungkapkan, kasus itu membuat nama Aceh kembali tercoreng.
Hal ini kata dia menjadi tanda bahwa Aceh masih memiliki banyak persoalan yang harus segera dituntaskan, di antaranya persoalan pendidikan, kemiskinan, dan penegakan hukum.
Sanusi menjelaskan, di Aceh sudah diberlakukan Qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Pada pasal 3 ayat 2 Qanun Jinayat tersebut mengandung ancaman hukuman terhadap 10 jarimah (perbuatan yang dilarang oleh syariat Islam).
Yaitu; Khamar (minum arak); Maisir (berjudi); Khalwat (berduaan antara lelaki dengan perempuan yang bukan mahram di tempat yang sepi); Ikhtilath (bermesraan laki-perempuan yang bukan mahram di tempat keramaian); Zina; Pelecehan seksual; Pemerkosaan; Qadzaf (menuduh orang berzina tapi tidak menghadirkan empat orang saksi yang melihat kemaluan pezina lelaki keluar-masuk dalam kemaluan pezina perempuan); Liwath (homoseksual); dan Musahaqah (lesbian).
Ia mengungkapkan, dalam kasus prostitusi online ini melibatkan empat pihak, yaitu germo sebagai tukang promosi zina, wanita pesanan, pelanggan yang juga sebagai pelaku zina, dan pihak hotel sebagai penyedia fasilitas.
Baca: Penyabung Ayam Non-Muslim di Aceh Memilih Dihukum dengan Syariat Islam
Maka keempatnya ini, terang Sanusi, bisa dijerat dengan Qanun Jinayat tersebut.
“Pihak pertama germo, kedua wanita pesanan, ketiga penyedia tempat, keempat pelanggan, masing masing mereka harus dicambuk jika terbukti bersalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Termasuk pelanggan, karena tanpa pelanggan tidak mungkin ada pelacur, baik yang sudah berbuat zina atau tidak sampai berbuat zina tetapi sudah melakukan khalwat, sama-sama harus dihukum,” ujar Sanusi di Banda Aceh, Rabu (28/03/2018).
Sanusi menambahkan, sang germo bisa dijerat dengan pasal 33 ayat 3 Qanun Jinayat, yang berbunyi; “Setiap Orang dan/atau Badan Usaha yang dengan sengaja menyediakan fasilitas atau mempromosikan Jarimah Zina, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 100 (seratus) kali dan/atau denda paling banyak 1000 (seribu) gram emas murni dan/atau penjara paling banyak 100 (seratus) bulan.”
Baca: Dr. Jabbar Sabil: Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh Harus Ciptakan Keharmonisan
Kemudian, lanjutnya, perempuan pesanan dan pelanggan yang sudah berbuat zina atau tidak sampai berbuat zina tetapi sudah melakukan khalwat, bagi mereka terancam hukuman dalam Jarimah Khalwat sesuai dengan ketentuan pasal 23 ayat (1) Qanun Jinayat yang berbunyi; “Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Khalwat, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 10 (sepuluh) kali atau denda paling banyak 100 (seratus) gram emas murni atau penjara paling lama 10 (sepuluh) bulan.”
Kemudian, pemilik hotel sebagai penyedia fasilitas berupa kamar untuk orang-orang berbuat zina/khalwat, maka terjerat dengan pasal 23 ayat (2) Qanun Jinayat yang berbunyi; “Setiap Orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, menyediakan fasilitas atau mempromosikan Jarimah Khalwat, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 15 (lima belas) kali dan/atau denda paling banyak 150 (seratus lima puluh) gram emas murni dan/atau penjara paling lama 15 (lima belas) bulan.”
Baca: MIUMI Aceh: Ada Usaha Media Massa Mendeskreditkan Syariat Islam di Aceh
“Maka dari itu, kami meminta pihak kepolisian untuk memeriksa kasus tersebut dengan seksama, serius, dan adil. Siapapun pelakunya kalau terbukti melanggar Qanun Jinayat maka harus dihukum,” ujar Sanusi.
Ia juga meminta Gubernur Aceh dan para pemimpin setiap daerah untuk bertindak tegas terhadap para pelaku prostitusi dan melakukan penegakan hukum kepada siapapun yang terjerat. Dan seiring waktu, pemerintah juga harus meningkatkan pendidikan terutama pendidikan agama, kemudian menuntaskan kemiskinan. Karena menurutnya beberapa PSK diketahui bekerja karena alasan ekonomi.
“Pemerintah harus tegas, jika tidak maka ini akan menjamur di Aceh, dan ini akan merusak nama dan masa depan Aceh. Perlu kerja sama yang baik untuk menuntaskan kasus ini, jangan sampai mengundang tsunami yang kedua di aceh,” tutup sanusi, demikian pernyataan yang dikirim ke redaksi hidayatullah.com.*
Baca: Media Dinilai tak Adil Beritakan kasus Pemerkosaan di Langsa-Aceh