Hidayatullah.com– Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menanggapi dengan baik berbagai masukkan tentang pelaksanaan Ujian Nasional (UN), salah satunya adalah pelaksanaan ujian pada mata pelajaran Matematika Sekolah Menengah Atas (SMA) yang dianggap sulit oleh sebagian peserta didik.
“Saya menghargai respons peserta didik yang telah mengekspresikan perasaannya melalui media sosial yang dilandasi pada etika yang baik,” demikian respons disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy, menanggapi masukkan dari para peserta didik tersebut, di kantor Kemendikbud, Senayan, Jakarta, sebagaimana siaran pers Kemendikbud, Selasa (17/04/2018).
Mendikbud menjelaskan, soal-soal UN yang menuntut penalaran sudah harus diperkenalkan kepada para peserta didik.
“Soal-soal penalaran pada ujian nasional sebetulnya hanya sekitar 10 persen dari total semuanya. Ini dilakukan sebagai ikhtiar untuk menyesuaikan secara bertahap standar kita dengan standar internasional, antara lain seperti standar Program for International Student Assessment (PISA),” jelas Mendikbud.
Pengenalan soal penalaran ini, merupakan upaya untuk mengejar ketertinggalan pencapaian kompetensi siswa Indonesia di tingkat internasional.
Selain itu juga, model soal penalaran merupakan salah satu tuntutan kompetensi dalam pembelajaran abad 21, yakni berpikir kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif.
Dengan begitu, peserta didik diharapkan mampu menganalisa data, membuat perbandingan, membuat kesimpulan, menyelesaikan masalah, dan menerapkan pengetahuan pada konteks kehidupan nyata.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Bambang Suryadi, mengatakan, soal UN tahun 2018 dikembangkan berdasarkan kisi-kisi yang disusun oleh Kemendikbud, dengan melibatkan guru, yang selanjutnya ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) pada bulan Agustus 2017, dan dimuat di laman http://bsnp-indonesia.org.
Kisi-kisi tersebut telah disusun sesuai kompetensi dasar yang harus diajarkan oleh guru sebagaimana dijabarkan dalam kurikulum pembelajaran di sekolah, dan dituangkan dalam buku mata pelajaran.
“Kisi-kisi ini dibuat secara umum/generik, tidak spesifik mengarah pada suatu bentuk soal tertentu. Tujuannya agar pembelajaran di sekolah-sekolah tidak terjebak pada proses drilling soal-soal UN. Guru wajib mengajarkan materi pembelajaran dengan mengedepankan pemahaman konsep dan penalaran, bukan sekadar drilling soal,” tambah Mendikbud.
Menambahkan penjelasan Mendikbud tersebut, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendikbud, Totok Suprayitno, menerangkan, soal-soal UN terdiri dari 3 level kognitif. Yaitu; level 1 (pengetahuan pemahaman) sekitar 30 persen, level 2 (aplikasi) sekitar 60 persen, dan level 3 (penalaran) sekitar 10 persen. Soal-soal tersebut ditulis oleh guru dan ditelaah oleh para guru yang kompeten dan dosen dari beberapa perguruan tinggi.
Hasil UN ini, kata Totok, akan dianalisis untuk mendiagnosa topik-topik yang harus diperbaiki di setiap sekolah untuk setiap mata pelajaran UN. Hasil analisis tersebut akan didistribusikan ke semua Dinas Pendidikan untuk ditindaklanjuti dengan program-program peningkatan mutu pembelajaran.
Melalui penyelenggaraan UN ini, Mendikbud berharap kepada semua pihak terkait agar menjadikan hasil analisis UN sebagai salah satu alat refleksi dan acuan untuk peningkatan mutu pendidikan.
“Saya berharap kepada Kepala Dinas Pendidikan, guru, kepala sekolah, dan pengawas menjadikan hasil analisis ujian ini sebagai ‘cermin’ yang jujur, dan yang terpenting dapat menjadi pendorong perbaikan mutu pembelajaran,” pesan Mendikbud.
Selain itu, Mendikbud juga berharap kepada para siswa dapat memahami dan meyakini bahwa pembelajaran merupakan proses yang panjang, tidak bisa instan.
“Tetaplah bersemangat, belajar sungguh-sungguh, dan senantiasa berusaha meningkatkan kemampuan dan kompetensi masing-masing. Jadilah manusia pembelajar sepanjang hayat,” pungkas Mendikbud.*