Hidayatullah.com– Kuasa Hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Prof Dr Yusril Ihza Mahendra, menyampaikan klarifikasi dan bantahan terkait kasus pembakaran bendera berkalimat tauhid di Garut, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.
Klarifiikasi itu menindaklanjuti maraknya pemberitaan dan pembahasan di ruang-ruang publik mengenai peristiwa pembakaran bendera itu yang secara sistematis dan terstruktur dikait-kaitkan secara langsung dengan bendera HTI, yang dinilai senyatanya bukan.
Pihaknya mempertimbangkan pula pemberitaan dan pembahasan di ruang-ruang publik mengenai keputusan pencabutan status badan hukum HTI yang seolah-olah telah memposisikan HTI sebagai Organisasi Terlarang.
“Padahal secara hukum tidak demikian adanya,” ujar Yusril dalam siaran persnya di Jakarta, Jumat (02/11/2018) diterima hidayatullah.com.
Kuasa hukum HTI memyampaikan sejumlah klarifikasi dan bantahan.
Pertama, ihwal pembakaran bendera tersebut.
“Bahwa kami menyesalkan peristiwa pembakaran bendera hitam bertuliskan lafadz tauhid dalam acara Peringatan Hari Santri Nasional tanggal 22 Oktober 2018 di Kota Garut oleh oknum anggota ormas tertentu. Kami mendukung proses hukum atas perbuatan tersebut agar dapat diproses sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” ujarnya.
Bahwa, tambahnya, sejalan dengan keterangan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), kami turut pula menegaskan bahwa bendera bertuliskan lafadz tauhid tersebut bukanlah bendera HTI.
“Bendera berwarna hitam tersebut sama sekali tidak terdapat tulisan Hizbut Tahrir Indonesia, sehingga tidak dapat dibantah bahwa yang dibakar adalah bendera hitam bertuliskan lafadz tauhid,” terangnya.
“Bahwa melalui ini kami tegaskan pula Hizbut Tahrir Indonesia tidak memiliki bendera resmi yang didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM. Pasal 26 Anggaran Dasar Hizbut Tahrir Indonesia hanya menentukan simbol Organisasi sebagaimana dikatakan:
“Perkumpulan ini berlambang “Bendera Laa Ilaha Ilallah Muhammadur Rasulullah” di atas dasar warna hitam dan atau putih, di bawahnya bertuliskan “HIZBUT TAHRIR INDONESIA”
(penulisan tebal dan capital dari teks asli anggaran dasar),” sebutnya.
Bahwa atas dasar itu, kata Yusril, selain karena HTI tidak memiliki bendera resmi yang didaftarkan, ketiadaan tulisan Hizbut Tahrir Indonesia pada bendera yang dibakar tersebut telah membuktikan bahwa bendera yang dibakar tersebut bukanlah bendera HTI.
Kedua, ihwal sebutan Hizbut Tahrir sebagai “Organisasi Terlarang”.
Bahwa, terang Yusril, Menteri Hukum dan HAM memang telah mencabut Status badan hukum HTI yang sekaligus bermakna Pembubaran pada tanggal 19 Juli 2017 melalui SK Menkumham Nomor AHU-30.AH.01.08.
HTI sudah melakukan perlawanan hukum ke pengadilan dan memang dua tingkatan pengadilan yakni Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara telah membenarkan keputusan tersebut.
Akan tetapi, tambah Yusril, Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara hanya sekadar menilai apakah Keputusan Pencabutan tersebut telah benar secara wewenang, prosedur, dan substansinya menurut UU yang berlaku dan Asas Umum Pemerintahan yang Baik.
“Keputusan tersebut hanya mencabut status badan hukumnya dan melalui sebuah pernyataan membubarkan HTI. Tidak satu katapun menyatakan HTI sebagai organisasi terlarang,” jelasnya.
Ia mengungkap, pada tanggal 19 Oktober 2018, HTI telah secara resmi mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
“Dengan demikian, persoalan pencabutan status badan hukum tersebut kembali dalam proses hukum yang sedang berjalan dan belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) atasnya,” terangnya.
Ia menyatakan, dalam sejarah ketatanegaraan RI, hanya PKI yang pernah dinyatakan sebagai organisasi terlarang berdasarkan TAP MPRS No: XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, dan larangan menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme.
Sedangkan Partai Masyumi Indonesia, ketika diperintahkan pembubaran oleh Presiden Soekarno, telah menyatakan membubarkan diri dua hari sebelum tenggat waktu yang ditetapkan. Sehingga Masyumi juga tidak pernah menyandang status sebagai Partai terlarang, jelasnya.
“Kami tegaskan bahwa sampai saat konferensi pers ini dibacakan, tidak ada satu putusan pengadilan pun yang telah menyatakan paham atau ideologi Khilafah yang didakwahkan Hizbut Tahrir Indonesia sebagai paham terlarang.
Semenjak keputusan Menteri Hukum dan HAM hanyalah mencabut baju badan hukum bukan mengkriminalisasikan pahamnya, dan senyatanya sebuah ormas terdapat yang berbadan hukum dan tidak berbadan hukum yang keduanya sama-sama sah diakui di hadapan hukum, maka terhadap perseorangan anggota atau pengurus Hizbut Tahrir Indonesia yang ingin menjalankan kegiatan dakwah secara individu atau menggunakan perkumpulan tidak berbadan hukum, maka hal itu tetap sah dan legal di mata hukum karena tidak ada satu Putusan Pengadilanpun yang menyatakan paham atau ideologi Khilafah itu sebagai paham yang terlarang,” paparnya.
Dengan penjelasan, pihak kuasa hukum HTI mengimbau kepada semua kalangan agar berhati-hati mengenakan label “Organisasi Terlarang” kepada HTI.
“Sebab label tersebut tidak terdapat pijakan hukumnya sehingga dapat mengarah kepada perbuatan fitnah atau pencemaran nama baik yang mengandung konsekuensi pidana,” pungkasnya.*