Hidayatullah.com– Wakil Sekretaris Komisi Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Dr Wido Supraha, menyoal hasil penelitian yang menyebut 41 masjid di lingkungan kantor pemerintah terindikasi radikal.
Wido menilai, harus ada lembaga yang otoritatif untuk mengeluarkan definisi radikalisme.
Menurutnya, istilah radikal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah istilah yang positif yakni berpikir mendasar, berpikir pada akarnya, berpikir jauh ke depan.
“Ini kan tidak ada yang keliru dalam pemikiran radikal,” ujarnya kepada hidayatullah.com Jakarta, Senin (26/11/2018).
Baca: MUI Jatim: Penelitian “Masjid Terpapar Radikalisme” Tendensius dan Diskriminatif
Bahkan kata Wido kawan-kawan Kristiani seperti Obed Krisnantyo Aji, menulis buku “Being Radical for Jesus: Membangun Dasar Kehidupan Kristen yang Radikal Bagi Tuhan.” Jadi terangnya ada perspektif iman Kristen tersendiri.
“Kita pun Islam punya perspektif iman sendiri. Maka klaim kebenaran dalam kacamata ideologi tidak bisa disebut sebagai radikal. Justru kewajiban untuk meyakinkan umat bahwa kebenaran ada di masing-masing agamanya,” tegasnya.
Sebelumnya, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Nahdlatul Ulama (NU) mengeluarkan pernyataan terkait 41 masjid di lingkungan kantor yang terindikasi radikal.
Definisi radikal P3M sendiri, lanjut Wido, masih bisa diperdebatkan.
Ia mempertanyakan, item radikal yang dibuat P3M, misalnya bisa memprovokasi kaum kafir menyerang Muslim, provokasi konspirasi Islam diserang berbagai kekuatan, dan provokasi umat Islam dimusuhi dan diperangi.
Baca: Soal “Masjid Terpapar Radikalisme”, Dr Henri: Tak Semua Penelitian Menjelaskan Fakta
Terhadap item ini, ia mempertanyakan, “Apakah benar seperti itu? Dan kalau benar, sebenarnya bukan di situ esensinya. Tapi mengapa justru disampaikan ke media, bukan disampaikan ke lembaga otoritatif. Dan mengapa tidak didiskusikan dengan lembaga otoritatif seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebelum disampaikan ke luar sehingga masalah ini jadi berdampak besar,” ucapnya.
Dampaknya apa? Jadi muncul kegaduhan, keresahan, dan ketakutan di tubuh umat, kata Wido. Khatib juga jadi saling tunjuk, “Siapa nih yang radikal?” Selain itu, pengurus masjid jadi tertuduh dan tidak dianggap profesional. Padahal boleh jadi, kata dia, kasus seperti ini sangat jarang terjadi.
“Mungkin ada satu dua penceramah yang suaranya keras dan seterusnya. Tapi itu kan nanti dievaluasi. Kalau dia mendukung ISIS, dia bisa dievaluasi,” ujarnya.
Hasil survei P3M itu pun baru indikasi, kata Wido. Belum sampai pada kesimpulan. Karena hanya 100 masjid pemerintah saja yang disurvei, sementara di Indonesia ada satu juta masjid, maka survei itu menurut Wido, tidak bisa memukul rata bahwa seluruh masjid di Indonesia terindikasi radikal.
Baca: Gus Solah: Di Masjid Salman ITB Enggak Ada yang Radikal
Masalah lainnya soal metode, kata dia. P3M hanya mensurvei empat kali khutbah dalam waktu sebulan (29 September-21 Oktober 2017). “Empat kali khutbah tidak representatif,” kata dia.
Menurut Wido, hasil survei tersebut seharusnya jangan dipublikasikan ke media dulu. Tapi hendaknya disampaikan ke pemerintah yang mengurusi soal itu, dalam hal ini Dirjen Bimas Islam di Kementerian Agama. Biar Bimas Islam yang tindak lanjuti.
“(Tapi) itu tidak dilakukan (P3M). Sehingga Bimas Islam tersudutkan. Bahkan Bimas Islam juga tidak tahu yang mana 100 masjid itu,” katanya.
Wido sendiri tahunya justru dari Badan Intelijen Negara (BIN). Ia jadi mempertanyakan, mengapa P3M lebih mengutamakan membagikan hasil penelitian itu kepada BIN, ketimbang kepada Bimas Islam yang seharusnya mengurusi soal itu.
Baca: Usulan BNPT Awasi Masjid Tiru Thailand, dimana Masjid Diawasi Tentara
Ia juga menyesalkan mengapa BIN yang kerjanya senyap, tapi menampilkan hasil survei P3M ke publik sehingga melahirkan kegaduhan.
“Di sini saya kira ada SOP yang tidak berjalan. Sehingga kita kembali disibukkan dengan hal yang remeh temeh seperti ini,” ujarnya menyayangkan.* Andi