Hidayatullah.com– Adanya protes Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terhadap buku panduan belajar kelas V SD yang menyebut NU sebagai salah satu organisasi radikal, ditanggapi oleh Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, KH Salahuddin Wahid atau yang akrab disapa Gus Solah.
Kata ‘radikal’, ujarnya, memang multitafsir.
Kalau konteks radikal dalam buku itu menentang penjajah Belanda, menurutnya, tidak apa-apa.
Namun begitu, karena buku itu dibaca anak-anak zaman sekarang, ia menyarankan agar menghindari kata ‘radikal’ yang multitafsir itu.
“Sebaiknya tidak menggunakan kata itu,” ujarnya kepada hidayatullah.com usai acara peluncuran buku seri biografis Wahid Hasyim dan Dewi Sartika di Museum Nasional, Jakarta pada Kamis (07/02/2019).
Menurut adik KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini, lebih tepatnya menggunakan kata NU sebagai organisasi non-kooperatif (tidak mau kerja sama) terhadap Belanda.
“Kiai Hasyim Asy’ari itu menolak diberi penghargaan dan bantuan uang oleh Belanda,” tuturnya.
Sebelumnya PBNU sangat menyangkan diksi ‘organisasi radikal’ itu. Sebab istilah tersebut bisa menimbulkan kesalahpahaman oleh peserta didik di sekolah terhadap NU.
“Organisasi radikal belakangan identik dengan organisasi yang melawan dan merongrong pemerintah, melakukan tindakan-tindakan radikal, menyebarkan teror dan lain sebagainya,” ujar Sekjen PBNU, Helmy Faishal Zaini dalam keterangan persnya yang diterima hidayatullah.com kemarin.
Pemahaman seperti ini, menurutnya, akan berbahaya, terutama jika diajarkan kepada siswa-siswi.* Andi