Hidayatullah.com– Sidang perkara ujaran kebencian bernuansa SARA yang didakwakan kepada salah seorang ustadz Hamizon Mizonri (HM), Pimpinan Rumah Yatim Tunas Bangsa Labuhan Batu, sedianya digelar pada hari Senin (04/03/2019) pekan kemarin. Namun, sidang tersebut mengalami penundaan karena saksi ahli yang akan dihadirkan, yakni Juliana, SS MSi dari Pusat Pengembangan Bahasa Sumatera Utara, mempunyai agenda lain.
Sidang pun digelar kembali hari Jumat (08/03/2019) di Pengadilan Negeri Rantau Prapat, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara, dengan agenda pemeriksaan keterangan Ahli Bahasa.
Penasihat hukum HM, Dr Dudung Amadung Abdullah, menceritakan jalannya sidang tersebut.
“Dalam keterangannya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Yang Mulia Tengku AlMadyan SH MH, ahli menyampaikan bahwa postingan yang dilakukan oleh terdakwa, secara bahasa mengandung unsur kebencian, karena di ujungnya postingan terdakwa ada kata makian, sontoloyo. Demikian halnya ketika terdakwa membuat postingan yang menyebut partai komunis dan nama sebuah kota, menurutnya ini sudah menunjukan SARA yang bisa membuat keonaran dan rasa takut di tengah masyarakat, karena meskipun Partai Komunis Indonesia sudah tidak ada dan dilarang, tapi ini bisa membuat muncul rasa takut dan mengungkap trauma di tengah masyarakat,” ujar Dudung kepada hidayatullah.com lewat siaran persnya, penghujung pekan kemarin (09/03/2019).
Baca: Dai di Sumut dijerat UU ITE, Persidangan Banjir Air Mata
Menanggapi hal tersebut, Majelis Hakim mempertanyakan alat yang digunakan oleh saksi dalam menilai sebuah kata, karena bahasa bisa mempunyai arti dan maksud yang berbeda. Ahli menyatakan ia menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai pegangan dalam mengartikan secara tekstual.
Menurut Majelis Hakim, akan sangat berbahaya, jika seorang ahli hanya menggunakan satu alat dalam memahami kata, dibutuhkan alat bantu lain agar tidak merugikan dan maksud yang dipahami sesuai dengan apa yang disampaikan pembuatnya.
“Ahli menyampaikan bahwa sebuah kata bisa saja bukan berarti ujaran kebencian, ketika direspons oleh orang yang dituju sebagai candaan, umpamanya ada respons tertawa dari orang yang diajak bicara. Ahli memberikan ilustrasi bahwa dalam bahasa pergaulan di masyarakat Sumatera Utara ada bahasa makian, tapi ketika kata tersebut disebutkan justru orang yang menyampaikan dan yang dituju malah tertawa terbahak-bahak, maka kata makian ini berubah menjadi candaan,” ungkapnya.
Dudung dan Penasihat Hukum HM lainnya, Hamsyaruddin dan Erwin Syahputra dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Hidayatullah, mempertanyakan kepada ahli, apakah tulisan HM di akun Facebookmiliknya tersebut direspons serius atau tertawa oleh pengguna FB?
“Ahli menyatakan tidak tahu,” ujarnya.
Baca: Dai Labuhan Batu Dijerat UU ITE, Saksi Terkesan Akhlak Terdakwa
Tim Penasihat Hukum mempertanyakan bagaimana ahli bisa menilai bahwa status FB terdakwa dianggap kebencian jika responnya tidak diketahui, padahal menurut ahli bahwa sebuah kata bisa dinilai hujatan dan candaan tergantung situasi dan respon dari orang yang diajak komunikasi.
Penasihat Hukum dan Majelis Hakim juga mempertanyakan tentang pernyataan ahli yang menyampaikan bahwa tulisan terdakwa di FB yang menyebut PKI dan nama sebuah kota di Jawa Tengah, bisa membuat keonaran dan ketakutan di tengah masyarakat.
Ahli menyampaikan bahwa hal tersebut bisa membuat orang ingat dengan kejadian tentang PKI di masa lalu, sedangkan PKI sendiri sudah dilarang.
Majelis Hakim kembali mempertanyakan alat bantu yang digunakan untuk menilai, karena harusnya dibantu dengan sejarah, tidak semata-mata bahasa karena bisa berbahaya.
“Ketika ditanya apakah ahli mengetahui sejaran PKI dan kota tersebut, ahli menyatakan tidak tahu,” masih kata Dudung.
Sementara Tim Penasihat Hukum menanyakan, apakah jika sebuah pernyataan tentang suatu bahaya semua mempunyai tujuan menakut-nakuti atau ditujukan agar orang hati-hati?
Ahli menyatakan bisa membuat orang takut dan juga bisa membuat orang berhati-hati tergantung orang yang menerimanya apakah dewasa atau tidak. Jika berpikiran dewasa maka akan dipahami sebagai ajakan untuk hati-hati.
Saat ditanya apakah pengguna FB yang mengakses statusnya HM kalangan dewasa dan anak-anak? Serta konsumsi status FB terdakwa apakah untuk anak-anak atau dewasa? Ahli menjawab dewasa. “Namun demikian ahli tetap menganggap bahwa hal tersebut ujaran kebencian yang menakut-nakuti dan bisa membuat keonaran.”
Menanggapai pernyataan ahli yang dihadirkan, Tim Penasihat Hukum menganggap aneh, karena ahli yang dihadirkan tidak konsisten dengan pernyataan yang disampikannya. “Bahkan dalam BAP No 13 yang disampaikan Ahli di hadapan Penyidik Polda Sumut dengan jelas yang bersangkutan menyatakan bahwa dalam status FB terdakwa tidak memuat unsur kebencian yang bernuansa SARA.”
Pada sidang kali ini, Tim Penasihat hukum juga meminta agar Majelis Hakim membuka akun FB milik terdakwa HM dalam gelar persidangan, agar semua bisa memahami. Majelis pun berjanji semua akan dibuka pada saat pemeriksaan terdakwa.
Jadwal sidang lanjutan dilaksanakan pada Senin (11/03/2019) ini dengan agenda pemeriksaan terdakwa.*