Hidayatullah.com– Anggota DPD RI Fahira Idris menyatakan, operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan (WSE), menjadi ujian pertama para komisioner KPK yang baru.
Ia menilai, jika kasus suap yang diduga terkait pergantianantar-waktu (PAW) anggota DPR dari Fraksi PDIP ini diusut secara proporsional, kepercayaan publik terhadap KPK akan tumbuh kembali.
Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI ini meyakini, publik mengapresasi kerja KPK yang dianggapberhasil melakukan OTT di beberapa lokasi dan berhasil menangkap delapan orang dan kini telah menetapkan empat orang sebagai tersangka.
Namun, proses lanjutannya terutama terkait penggeledahan yang tertunda karena ada proses birokrasi yang harus dilewati, salah satunya izin Dewan Pengawas (Dewas), membuat publik kecewa.
Belum lagi mengenai kabar adanya tim KPK yang tertahan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan langkah KPK yang baru akan menggeledah sejumlah tempat terkait kasus suap pada pekan depan dianggap bentuk nyata pelemahan kerja pemberantasan korupsi akibat revisi UU KPK.
“Ini sebenarnya kerja luar bisa dari KPK yang tetap memantau potensi praktik korupsi terkait pemilu, walau pemilu sendiri tahapannya sudah selesai. Namun saya melihat publik kecewa atas proses lanjutan dari OTT ini,” ujar Anggota DPD RI Fahira Idris dalam pernyataannya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/01/2020).
Baca: Koalisi Masyarakat Siapkan Jamu Antidiare untuk Komisioner KPK
Fahira menilai kasus suap tersebut pasti menarik atensi dan perhatian publik luas. Bukan hanya karena melibatkan komisioner KPU dan caleg dari partai berkuasa, tetapi juga dikarenakan prosesnya terjadi di bawah payung UU KPK baru, yaitu UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Ia mengatakan, seperti yang diketahui bersama, UU KPK yang baru ini mendapat penolakan luas dari berbagai lapisan masyarakat dan mahasiswa hingga melahirkan beberapa kali aksi besar di berbagai daerah.
Saat ini publik berharap kasus suap ini diusut secara proporsional dan transparan. Kasus ini juga menjadi ujian dan pembuktian bagi KPK bahwa undang-undang (UU) KPK yang baru tidak memperlemah kerja-kerja pemberantasan korupsi.
“Pengusutan kasus ini harus menjadi titik balik menaikkan kembali kepercayaan publik kepada KPK, yang harus diakui menurun sejak disahkannya revisi UU KPK. Publik akan menjadikan kasus suap ini sebagai cerminan pemberantasan korupsi di Indonesia, setidaknya di lima tahun mendatang,” pungkas Fahira.
Baca: Mungkinkah Korupsi Bisa Disetop Cuma dengan Pemenjaraan?
Sebelumnya, KPK menggelar kegiatan tangkap tangan di Jakarta, Depok, dan Banyumas diduga terkait dengan penetapan anggota DPR terpilih 2019-2024. KPK mengamankan 8 orang dalam kegiatan tangkap tangan tersebut yang salah satunya adalah Komisioner KPU.
Setelah melakukan pemeriksaan dan sebelum batas waktu 24 jam sebagaimana diatur dalam KUHAP, dilanjutkan dengan gelar perkara, KPK menyimpulkan adanya dugaan Tindak Pidana Korupsi menerima hadiah atau terkait penetapan anggota DPR-RI Terpilih tahun 2019-2024.
Dari delapan orang yang diamankan, KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka. Empat orang itu adalah WSE (Komisioner Komisi Pemilihan Umum), ATF (Mantan Anggota Badan Pengawas Pemilu, orang kepercayaan WSE), HAR (politikus PDIP), dan SAE (swasta).
Tersangka WSE dan ATF disangkakan sebagai penerima, dua tersangka lain yakni HAR dan SAE disangkakan sebagai pemberi. HAR melalui SAE diduga memberi sejumlah uang untuk WSE melalui ATF terkait dengan penetapan aanggota DPR Pengganti Antar Waktu 2019-2024.
Sebagai penerima para tersangka disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sebagai pemberi para tersangka disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.*