Hidayatullah.com- Pendiri Media Kernels Indonesia (Drone Emprit), Ismail Fahmi, menilai perdebatan mengenai radikalisme dan khilafah tidak produktif khususnya bagi umat Islam.
Mengingat banyaknya umat yang masih tertinggal, maka diskusi di media sosial sebaiknya diisi diskusi yang lebih bermanfaat seperti pendidikan dan sejenisnya.
Ismail mengungkapkan, ada kelompok tertentu yang memang berusaha memunculkan diskusi radikalisme dan khilafah itu.
Menurutnya, umat sebaiknya tidak menanggapi tema radikalisme dan khilafah serta membuat tema-tema sendiri yang lebih produktif, supaya konten di media sosial lebih kaya dan mencerahkan umat.
“Kalau kita lihat, bahkan pada isu yang sangat penting pun seperti pendidikan tidak banyak, ini akibatnya publik hanya diajak membicarakan tentang itu-itu saja, ketika ada narasi radikalisme khilafah dan lainnya, tidak perlu dilawan, cukup dibuat narasi tandingan yang produktif bagi umat, umat Islam Indonesia harus membicarakan narasi besar yang bagus untuk bangsa yang produktif,” ujarnya dalam pemaparannya pada FGD Pra Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-7 tema Media dan Pers di Gedung MUI Pusat, Jakarta, Selasa (21/01/2020).
Ismail mengungkapkan, narasi atau perbincangan yang hadir di media sosial Indonesia, terkhusus Twitter, menceminkan kondisi yang kurang sehat.
Meskipun tema ekonomi masih menjadi pembahasan paling menonjol, namun katanya pembahasan mengenai khilafah dan radikalisme berada di posisi ke dua dan ke tiga sebelum disusul tema pendidikan. Ini mengindikasikan bahwa perbincangan umat tidak terlalu produktif.
Sementara menurut Guru Besar Komunikasi Universitas Indonesia, Bachtiar Aly, masyarakat saat ini penuh dilematis. Hal itu ditunjukkan dari begitu cepatnya masyarakat berubah dan mudahnya tergiring pada isu-isu tertentu yang sedang ramai.
Media sosial, kata mantan dubes Indonesia untuk Mesir ini, menyimpan semua hal seperti rasa ingin populer, kenangan masa lampau, kebaruan informasi, serta yang paling berbahaya adalah konflik.
Sayangnya, banyak di antara umat yang malah terjebak dan seolah menikmati tema-tema yang kerap menimbulkan konflik seperti radikalisme atau khilafah.
“Media sosial memiliki popularitas, nostalgia, novelty, dan di situ juga ada konflik. Konflik itu sekarang menjadi komoditi dan konflik memang dijaga. Konflik itu menjadi komoditas dan hari ini pun kita terjebak di dalamnya,” ujarnya dirilis Kominfo MUI.*