Analisa Berita Muktamar Muhammadiyah ke-45:
Hidayatullah.com–Harap-harap cemas. Bukan karena kebingungan terhadap siapa Ketua Umum PP Muhammadiyah yang akan datang. Tetapi akan dibawa ke mana Muhammadiyah ke depan oleh pemimpin baru nanti. Tulisan ini merupakan analisa wartawan hidayatullah.com, Cholis Akbar dan Bahrul Ulum yang meliput langsung Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang Jawa Timur.
Meski pemilihan Ketua Umum baru dilaksanakan Kamis, (7/7) pagi ini, namun hampir dipastikan, ketua tepilih tetap akan berada pada Prof. Dr. Din Syamsuddin. Ini berdasarkan pantauan yang mendalam terhadap berbagai kalangan, baik peserta muktamar dan para pengamat.
Sebagaimana diketahui, Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin memimpin suara pada hasil penghitungan suara untuk memilih 13 dari 39 calon sementara anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada hari pertama Muktamar.
Din berada di peringkat pertama dengan mendulang 1.718 suara, disusul Haedar Nashir 1.375 suara, Muhammad Muqaddas 1.285, dan seterusnya.
Komposisi suara ini nampaknya banyak mengagetkan kalangan Muhammadiyah, baik tokoh tua maupun tokoh muda, terutama yang selama ini menamakan diri sebagai Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) yang dianggap sebagai sayap liberal di Muhammadiyah. Atau sayap Tabligh, yang selama ini sangat bersebrangan dengan JIMM.
Malik Fadjar yang kabarnya didukung kalangan tua yang diwakili Ahmad Syafi’I Ma’arif justru mendapatkan urutan keempat (1.277). Sedangkan Ustad Yunahar Ilyas, LC yang selama ini dianggap sayap penentang sekularisme-liberalisme di Muhammadiyah justru mendapatkan urutan kelima (1.264).
Rosyad Sholeh yang juga banyak didukung tokoh tua Muhammadiyah di urutan enam (1.209). Selanjutnya, berurutan ke bawah; Dahlan Rais (1.135), Goodwill Zubeir (934), Zamroni (910), Mukhlas Abror (897), Bambang Sudibyo (881), Fasichul Lisan (802), dan terakhir Sudibyo Markus (776).
Dari urutan perolehan suara tersebut, calon Ketua Umum PP Muhammadiyah sudah bisa dipastikan siapa sesungguhnya yang bakal memimpin Muhammadiyah. "Apalagi, pemilihan Ketua Umum nanti melalui sistem demokrasi, " ujar anggota formatur terpilih, Haedar Nashir.
"Kalau tidak jadi, itu lucu dan berarti Muhammadiyah mencederai demokrasinya sendiri, "tutur Amien Rais kepada pers. Din Syamsuddin memang sudah diyakini banyak orang bahwa pria asal Sumbawa itu bakal mulus terpilih.
Habisnya Nasib Liberal
Yang menjadi masalah di kalangan para muktamirin sekarang ini bukanlah pada siapa yang bakal memimpin Muhammadiyah. Namun bagaimana sosok pemimpin baru, yakni Din Syamsuddin nanti akan mengendalikan organisasi yang dilahirkan oleh KH. Ahmad Dahlan itu.
Menariknya, hampir sejumlah tokoh Muhammadiyah baik yang selama ini dikenal sebagai pendukung gerakan liberalisme dan penentangnya bersuara sama.
Anggota Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Ahmad Najib Burhani, misalnya mengaku kaget terpilihnya Din menduduki peringkat pertama pemilihan 13 calon ketua umum. "Ini mengkhawatirkan nasib liberal," ujar dosen Paramadina ini.
Kalangan JIMM, yang selama ini dianggap penggerak lahirnya pemikiran liberal di Muhammadiyah mengakui, tak ada satupun dari ketigabelas calon ketua umum itu yang mendukung gerakan mereka.
Nama-nama seperti Abdul Munir Mulkan dan Amin Abdullah, dua orang yang paling diunggulkan justru ‘keok’ dan tak terpilih. "Hampir semua adalah nama-nama baru. Umumnya adalah para Taliban, " ujarnya Najib pada hidayatullah.com.
Menurut penulis buku "Islam Dinamis: Menggugat Peran Agama, Membongkar Doktrin yang Membatu" ini, kubu liberal mendukung nama-nama muda yang dianggap banyak berperan besar dalam pengembangan pemikiran liberal di tubuh organisasi itu.
Nama-nama lain selain Abdur Munir Mulkan dan Amin Abdullah yang diunggulkan JIMM seperti, Muhadjir Effendy dari Universitas Muhammadiyah Malang dan Abdul Mukti, juga tak lolos. "Delapan calon kami habis, " kata Najib.
"Saya heran, kenapa orang sebrilyan Pak Amin Abdullah, yang mengembangkan gagasan hermeneutika tak mendapatkan tempat di Muhammadiyah," ujarnya kecewa saat konfrensi pers di Media Centre, Rabu (6/7) lalu.
"Apalagi saya dengar, komisi rekomendasi mengusulkan pembubaran JIMM, " katanya pendek Yang jelas, mendung menyelimuti kubu liberal di Muhammadiyah.
Karaoke
Menariknya, kekecewaan juga tersirat pada kalangan tua yang selama ini dianggap sebagai tipe pekerja dan penggerak organisasi di Muhammadiyah.
Dalam perbincangan di sebuah radio, Malik Fadjar tokoh Muhammadiyah yang dianggap paling besar jasanya membesarkan pendidikan di organisasi itu memberikan pernyataan yang membuat para pendukung Din gerah.
Mantan Menag dan Mendiknas itu menyebut Muhammadiyah mestinya dipimpin tokoh tua. Pernyataan mantan rektor UMM Malang itu ditafsirkan sebagai upaya mengganjal Din dan melapangkan jalan Haedar Nashir.
Senada dengan Malik Fajar, Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Yunahas Ilyas juga menyiratkan hal sama.
Ketidaksetujuan Yunahar pada Din bukan masalah apa-apa. Selama ini, menurutnya, lulusan Universitas Los Angeles (UCLA), AS itu dianggap terlalu membiarkan gerakan liberal di Muhammadiyah. "Mungkin ini sudah takdir. Habis tak ada pilihan lain, " ujarnya menanggapi besarnya dukungan pada Din Syamsuddin. "Asal bukan liberal aja, " katanya sambil tertawa.
Puncak ketidaksetejuan kalangan tua pada Din adalah Rabu (6/7) malam. Tatkala kalangan tua melakukan sidang terbatas membahas soal Din. "Ya membahas itulah, cuma kami tak bisa cerita karena ini masalah internal, " jelasnya pada hidayatullah.com.
Tak banyak yang tahu mengapa Din masih belum didukung kalangan tua. Namun seorang anggota PP Muhammadiyah asal Yogyakarta, Adaby Darban mengaku pada media ini.
Selama ini, Din dianggap terlalu elitis. Dibanding pengurus Muhammdiyah yang lain, Din juga sering berperilaku politis dan bukan tipe pekerja layaknya orang-orang yang memang sejak kecil membesarkan Muhammadiyah.
"Dia itu bagusnya di luar negeri. Cuma dalam pengkaderan internal belum teruji, " ujarnya pada hidayatullah.com. Tapi lain lagi dengan kalangan JIMM. Kalangan liberal menganggap Din belum jelas berdiri di mana. "Pak Din itu masih dianggap Pak Syafi’i terlalu fundamentalis," katanya.
Terhadap anggapan Din Syamsuddin dan Haedar Nashir yang selama ini dekat dengan kalangan liberal di Muhammadiyah, Ahmad Najib Burhani punya pendapat menarik. "Ah, mereka itu juga masih belum jelas. Istilahnya ‘karaoke’ (kanan-kiri ok). Lain dengan Pak Amin Abdullah."
Sumber-sumber hidayatullah.com mengatakan, ada rapor merah pada diri seorang Din yang hingga kini membuat kalangan tua masih belum terlalu ikhlas. Selain selama ini kiprahnya lebih cenderung politis, Din juga dianggap memiliki catatan hitam, menyangkut soal Bank Persyarikatan, milik Muhammadiyah yang kini sedang kesandung masalah.
Din bukan orang baru di Muhammadiyah. Dia adalah mantan Ketua DPP Sementara Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) tahun 1985. Dia juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah sejak 1989-1993. Juga pernah menjabat sebagai Wakil Ketua PP Muhammadiyah tahun 2000-2005.
Dalam politik, pria Sumbawa itu pernah menjadi Ketua Litbang Golongan Karya (Golkar). Pengalaman di ranah politik inilah nampaknya yang hingga kini sering terlihat padanya.
Din adalah diantara sedikit tokoh Muhammadiyah yang paham ilmu keagamaan. Dia lulusan pondok pesantren yang dianggap mampu menguasai kitab-kitab klasik sekaligus bisa berkomunikasi dengan dunia internasional.
Namun selain itu, Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), ini sering dianggap berjalan sendiri dengan pernyataan-pernyataannya yang dianggap politis tanpa sepengetahuan organisasinya, Muhammadiyah.
"Agar tidak lebih cendrung politis, saya lebih suka dia digandengkan dengan Pak Rosyad Sholeh, tokoh senior yang punya akar kuas di kaderisasi Muhammadiyah, " ujar Adaby Darban. Masalahnya, seberapa kuat dia tak tergoda sahwat politik? (hidayatullah.com)