Hidayatullah.com- Para pakar menyampaikan harapannya kepada Aceh agar bisa bangkit untuk mengembalikan kejayaannya, dengan belajar dari berbagai kejadian masa lalu.
Menurut para pakar, kesuksesan Aceh pada masa lalu tidak terlepas dari sejarah dan budaya, serta kearifan lokal yang harus dilestarikan.
Spirit itu menjadi salah satu poin dari seminar seminar keacehan bertema “Kearifan masa lalu kejayaan masa depan” di Gedung FKIP, Unsyiah, Banda Aceh, penghujung pekan kemarin. Pada seminar ini, di antara yang disinggung adalah kejayaan Aceh pada masa lalu.
“Aceh pernah menjadi salah satu kesultanan Islam yang paling sukses di Nusantara, baik di bidang politik, ekonomi dan intelektual,” ujar peneliti sejarah Aceh, Mawardi Umar MA kutip INI-Net semalam (16/02/2020).
Ia menjelaskan, pada abad ke-17, Aceh menjadi kekuatan politik dan ekonomi terkuat di bagian barat Nusantara yang mampu membendung perkembangan kolonial Portugis.
Aceh saat itu, katanya, tak hanya sebagai pusat pemerintah yang kuat, tapi juga menjadi pusat perdagangan dan peradaban.
Hingga kemudian, keungulan yang dimiliki Aceh itu perlahan mengalami kemunduran. Hal ini diawali masuknya kolonial Belanda sampai terjadi pelawanan puluhan tahun.
“Hampir seluruh infrastruktur ekonomi hancur dan sosial budaya mengalami kemunduran,” imbuhnya.
Ia pun mengungkapkan bahwa kemiskinan yang terjadi di Aceh saat ini sangat ironi, sebab Serambi Makkah ini punya hasil kekayaan alam melimpah dan tanah yang subur.
Sementara menurut Alfi Rahman selaku Peneliti Tsunami Mitigation Reserch Center (TDMRC) Unsyiah, runtuhnya kejayaan Aceh disebabkan pula oleh faktor bencana alam seperti gempa dan tsunami.
Berdasarkan hasil penelitian di Gua Ek Leuntie, Kabupaten Aceh Besar, peneliti menemukan tsunami pada tahun 2004 bukan yang pertama kalinya terjadi di Aceh. Tapi tsunami pernah terjadi pada ratusan tahun yang lampau.
Alfi mencontohkan, di Kepulauan Simeulue, pengetahuan masyarakat setempat menyebut tsunami dengan istilah Smong. “Kisah Smong salah satu budaya lokal masyarakat Simeulue yang disebut nafi-nafi atau cerita tutur tentang kisah masa lalu yang masih dilestarikan,” sebutnya.
Sedangkan Dosen Sejarah Unsyiah, Qismullah Yusuf, mengatakan, Aceh pada masa lampau juga telah melakukan hubungan diplomasi dengan negara-negara di Eropa seperti Inggris, Turki, dan Belanda.
Ia mengungkapkan, pada Abad 16-17, Kesulatanan Aceh mengirim 4 orang utusannya ke Belanda yang dipimpin Tuanku Abdul Hamid untuk mengakui kedaulatan Belanda setelah bebas dari Spanyol.
“Akhirnya, pada 10 Agustus 1602, Tuanku Abdul Hamidi meninggal di Amsterdam,” imbuhnya.
Untuk mengembalikan kejayaan Aceh pada masa mendatang, kekayaan alam Aceh seperti pala, cengkeh, kopi gayo dan nilam dinilai merupakan salah satu komoditi yang berpeluang untuk dimanfaatkan. Sebagaimana kejayaan yang diperoleh pada masa Kesultanan Aceh.
“Nilam salah satu komoditi unggul yang dapat diolah sebagai minyak wangi, yang bisa meningkatkan nilai tambah ekonomi untuk di ekspor,” ujar Kepala Pusat Atsiri Research Center (ARC) Unsyiah, Syaifullah Muhammad pada (15/02/2020) itu.*