Hidayatullah.com- Wakil Ketua Fraksi PKS, Sukamta, menyebut langkah perubahan yang dilakukan Pemerintah bisa tidak efektif jika Presiden Joko Widodo tidak memperbaiki persoalan substansi dalam penanganan Covid-19 beserta dampaknya.
Hal itu disampaikan menanggapi keputusan Jokowi membubarkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 untuk kemudian dibentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional melalui Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020 dan berlaku mulai 20 Juli 2020.
“Saya berharap ini jangan hanya sekadar ganti nama, karena Pemerintah sekarang kayaknya baru suka ganti-ganti istilah. Lontarkan istilah New Normal kemudian diralat jadi adaptasi kebiasaan baru. Istilah PDP, ODP, OTG diganti dengan suspek, kontak erat dan konfirmasi Covid. Sekarang giliran Gugus Tugas diganti istilah jadi Satuan Tugas.
Jika hanya ganti nama tanpa ada substansi yang diperbaiki, maka ini akan sia-sia dan hanya jadi pepesan kosong,” ujar Sukamta kepada hidayatullah.com dalam keterangan tertulisnya, Kamis (23/07/2020).
Lebih lanjut anggota DPR RI asal Yogyakarta menyebutkan jika ada hal baru dalam Perpres ini adalah adanya tim pemulihan ekonomi.
Namun demikian, Sukamta memandang Perpres ini masih setengah hati dalam soal pemulihan ekonomi nasional, karena tidak adanya upaya untuk membentuk tim pemulihan ekonomi di tingkat daerah.
“Dalam soal penanganan Covid-19, di daerah juga dibentuk satuan tugas. Tetapi dalam soal pemulihan ekonomi hanya dibentuk tim di level pusat. Padahal dampak pandemi ini secara ekonomi juga dirasakan sampai daerah. Banyak sektor ekonomi rakyat di daerah yang sekarang mati suri. Ini jelas kebijakan yang masih sepotong-sepotong,” ujarnya.
Sukamta berharap, pemerintah membuktikan adanya Perpres ini kinerja pemerintah dalam penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi semakin baik.
Setidaknya, kata dia, dalam satu bulan ke depan pemerintah perlu buktikan ada progres yang nyata.
“Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, semestinya segera keluarkan grand design dan tahapan demi tahapan yang akan dilakukan. Jangan sampai perjalanan penanganan pandemi yang sudah berlangsung lebih dari 4 bulan tanpa arah ini terulang lagi,” imbuhnya.
Ia mengaku pada bulan Mei dirinya pernah menyebutkan ada 5 persoalan mendasar dalam penanganan Covid-19 di Indonesia sebagai kritik atas wacana pelonggaran PSBB yang sering disampaikan pemerintah.
Pertama, katanya, tidak adanya grand design. Kedua, persoalan koordinasi pemerintah. Ketiga, kurangnya kapasitas uji spesimen. Keempat, kesenjangan sarana prasarana (sarpras) kesehatan di setiap daerah dan SDM tenaga kesehatan.
Kelima, pelaksanaan PSBB yang tidak optimal dan kedisiplinan masyarakat yang masih rendah.
Sukamta menilai, hingga detik ini kelima persoalan mendasar tersebut masih saja berlangsung.
“Sebut saja persoalan kedua soal koordinasi. Sekretaris Kabinet Pramono Anung bilang, di dalam Perpres ini semuanya bertanggung jawab kepada presiden, jadi presiden langsung yang mengendalikan, memonitor, mengontrol semua kebijakan terkait Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Dulu dalam Keppres Gugus Tugas, semua juga bertanggung jawab kepada Presiden.
Lha, yang kemarin Presiden kemana saja? Apakah dengan Perpres ini akan ada jaminan Presiden menjadi lebih aktif, koordinasi juga menjadi lebih baik? Saya kira tanpa Perpres pun, jika mau Presiden bisa mengambil inisiatif,” sebutnya.*