Hidayatullah.com- Majelis Ulama Indonesia meminta pemerintah menjelaskan status Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP). Hal ini untuk menjamin kepastian dan akuntabilitas pembentukan peraturan perundang-undangan, serta partisipasi aktif masyarakat terkait RUU BPIP.
“Sebagaimana diatur dalam Pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011, maka wajib adanya kejelasan informasi dari Pemerintah yang sudah mengirimkan Surpres ke DPR apakah RUU BPIP sebagai DIM untuk membahas RUU HIP atau RUU usul baru Presiden,” tegas Sekjen MUI Anwar Abbas dalam rilis MUI, Kamis (27/08/2020).
MUI menemukan ketidaklaziman dalam Pengajuan RUU BPIP dari pemerintah kepada DPR. Kalau RUU BPIP yang diusulkan bukan merupakan pengganti RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP), pemerintah harus mengikuti prosedur yang berlaku.
Lewat edaran Pandangan dan Sikap MUI tentang RUU HIP dan RUU BPIP bernomor Kep-1571/DP MUI/VIII/2020, Anwar Abbas menyampaikan ketidaklaziman itu terkait dengan status RUU BPIP yang diajukan oleh pemerintah dan setelah proses pengajuan RUU HIP atas inisiatif DPR.
Sebagaimana diberitakan, mulai tanggal 16 Juli 2020, polemik RUU HIP memasuki babak baru. Menko Polhukam Mahfud MD pada tanggal itu menyerahkan draf RUU BPIP kepada Ketua DPR RI di Kantor DPR RI, Jakarta. Belum terpublikasikanya Surat Presiden atas RUU HIP hingga saat ini, membuat status draf RUU BPIP itu rancu, apakah RUU BPIP itu usulan baru atau lampiran Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Surat Presiden terhadap RUU HIP.
Baca: MUI: DPR Segera dan Wajib Cabut RUU HIP dari Prolegnas
Anwar mengatakan, semestinya, pengajuannya dilakukan dalam Rapat Kerja antara DPR dan Pemerintah. Sedangkan kalau Presiden Joko Widodo mengajukan RUU BPIP sebagai usulan baru, maka wajib melakukan penarikan RUU HIP dari proses pembahasan. “(Serta) mencabutnya dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan memasukkan RUU BPIP itu ke dalam perubahan Prolegnas,” imbuh Anwar.
Ketika Pemerintah dan DPR menjadikan RUU BPIP sebagai RUU di luar Prolegnas, tambah Anwar, maka wajib merujuk dan melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012.
Bunyi pasal itu disebutkan; Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas mencakup: a) untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam: dan b). Untuk mengatasi keadaan tertentu lainnya yang memastikan urgensi nasional atau suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislatif dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang hukum.
Anwar mengatakan, kalau RUU BPIP yang diusulkan Pemerintah bukan sebagai pengganti RUU HIP tapi sesuatu yang baru, maka harus mengikuti prosedur pembentukan RUU sebagai usul Pemerintah yang wajib berdasarkan pada prosedur dan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Sebagaimana ditentukan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perautran Perundang-undangan serta Peraturan Tata Tertib DPR RI agar tidak cacat hukum,” jelasnya.*