Hidayatullah.com- Anggota Komisi IX DPR Kurniasih Mufidayati meminta agar pemerintah memperhatikan suara buruh dalam draf RUU Cipta Kerja –dikenal juga RUU CILAKA– yang diajukan kepada DPR. Keberatan pekerja seperti penghapusan upah minimum regional maupun sektoral, pemberlakukan upah per jam yang berpotensi memotong penghasilan pekerja kelas bawah, dan pengurangan uang penghargaan masa kerja perlu mendapat perhatian.
“Termasuk penggunaan buruh outsourcing dan kontrak seumur hidup yang semula dibatasi untuk jenis pekerjaan tertentu, menjadi untuk semua jenis pekerjaan,” ujar Mufida dalam keterangannya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (01/09/2020).
Kalangan pekerja kembali melakukan unjuk rasa besar ke DPR untuk menolak Omnibus Law Cipta Kerja (awalnya RUU Cipta Lapangan Kerja/CILAKA) yang diajukan Pemerintah ke DPR. Kalangan pekerja menolak draf tersebut karena dinilai sangat merugikan pekerja serta meminta DPR lebih intensif melibatkan pekerja dalam pembahasan draf RUU Cipta Kerja.
Kalangan Pekerja juga meminta pemerintah dan DPR lebih memberikan perhatian terhadap banyaknya PHK akibat pandemi ini dan hak-hak pekerja yang tidak terlindungi.
Mufida mengajak DPR agar memperhatikan betul masukan dari para pekerja dalam pembahasan RUU Cipta Kerja ini dan menolak pasal-pasal dari draf RUU yang merugikan pekerja. Dan Pekerja di sini mencakup semua pekerja di semua sektor, termasuk sektor pendidikan.
“Baiknya DPR menunda dulu pembahasan RUU Cipta Kerja , apalagi di tengah meningkatnya kasus Covid 19 di Indonesia. Harusnya prioritas DPR saat ini satu fokus yaitu pada penanggulangan pandemi Covid-19, yang semakin memprihatinkan perkembangannya di Indonesia,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa pekerja adalah bagian penting dalam sistem perekonomian dan berperan penting dalam menggerakkan roda sektor-sektor perekonomian. Sehingga sudah selayaknya mendapat posisi yang layak dan perlakuan yang adil yang dilindungi oleh Undang-Undang yang berlaku.
Menurut Anggota DPR dari Fraksi PKS ini, sejak awal Omnibus Law melalui RUU CILAKA ini memang bermasalah dan banyak kontroversi. Penolakan bukan hanya terkait dengan ketenagakerjaan, namun juga terkait dengan potensi kerusakan sumberdaya alam, pelemahan kewenangan daerah dalam mengontrol pengelolaan sumberdaya alam di wilayahnya karena perizinan yang cenderung tersentralisasi.
“Bentuknya Omnibus yang sapu jagad juga biasanya digunakan di negara yang menganut asas/sistem Common Low. Sementara Indonesia bukan penganut Common Law dan dalam sejarah hukum Indonesia juga belum pernah mengeluarkan sejenis Omnibus Law,” papar dia.
Ia menyebut, pemerintah juga salah prioritas dalam membuat program pemulihan ekonomi. RUU Omnibus Law Cipta Kerja dijadikan sebagai resep utama pemulihan ekonomi nasional. Pemerintah meyakini bahwa dengan RUU Cipta Kerja investasi akan datang ke Indonesia.
“Ini tentu pandangan yang gegabah. Saat ini seluruh dunia sedang mengalami masalah dari sisi investasi dan perdagangan internasional. Semua butuh capital di dalam negerinya. Jadi mengharapkan investasi luar negeri sebagai motor pertumbuhan ekonomi adalah salah memahami persoalan,” kata dia.
Omnibus Law Cipta Kerja ini, ungkap Mufida, juga menyalahi prinsip hukum peraturan perundang-undangan karena menghidupkan kembali aturan yang sudah dimatikan Mahkamah Konstitusi. Pada saat yang sama, RUU ini juga menghapuskan lebih dari 400 peraturan yang sudah ada sebelumnya. Belum lagi proses penyiapannya yang dinilai tidak transparan di awal yang membuat berbagai kalangan bersuara keras menolak RUU ini.
Mufida menilai adanya usulan sandingan dan dibentuknya Tim Perumus dari serikat pekerja menjadi momentum untuk membuat pembahasan RUU Cipta kerja ini menjadi lebih transparan dan partisipatif. “Apalagi DPR juga sudah membuat kesepakatan dengan Tim Perumus ini agar pembahasan RUU Cipta Kerja ini lebih terbuka pada masukan publik,” terang dia.*