Hidayatullah.com– Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab tak kunjung lepas dari jeratan hukum. Belum selesai urusan somasi terhadap tanah pesantren markas FPI di Megamendung, Bogor, Jawa Barat oleh PTPN VIII dan kasus penahanan terhadapnya oleh Polda Metro Jaya, kasus “baru” kembali dijeratkan kepada HRS.
Teranyar, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) memutuskan mencabut Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas kasus tuduhan “chat mesum” dengan tersangka HRS. Putusan dibacakan pada Selasa (29/12/2020).
Menanggapi itu, kuasa hukum HRS, Aziz Yanuar, mengaku bersikap santai tapi tetap menghadapinya. “Santai saja, kita hadapi,” ujar Aziz saat dimintai tanggapannya oleh hidayatullah.com terkait kasus tersebut, Selasa (29/12/2020) siang jelang sore.
Aziz lebih jauh menilai, dicabutnya SP3 kasus tuduhan chat tersebut membuktikan “kepanikan rezim” terkait kasus penembakan hingga mati 6 anggota Front Pembela Islam pada 7 Desember 2020 lalu.
“Ini makin membuktikan dugaan kepanikan rezim atas pengungkapan dugaan pembantaian 6 syuhada, ini dalam dunia intelijen dikenal dengan istilah deception atau pengalihan isu,” ujarnya.
Dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam kasus penembakan 6 anggota FPI tersebut terus mencuat. Terbaru, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti menyebut penembakan mati 6 anggota FPI oleh aparat polisi itu sebagai pelanggaran atas HAM. Fatia pun mengatakan penembakan tersebut adalah bentuk penghinaan terhadap proses hukum dan pengingkaran terhadap asas praduga tak bersalah dalam pencarian keadilan.
Sedangkan Komnas HAM, menindaklanjuti peristiwa penembakan 6 Laskar FPI di Karawang, Jawa Barat pada Senin (07/12/2020) itu, Tim Penyelidikan telah melakukan serangkaian penyelidikan sejak tanggal 07 Desember 2020. Tim Penyelidik telah meminta keterangan berbagai pihak antara lain FPI, Polda Metro Jaya, Bareskrim Polri, serta Dokter Forensik. Tim juga telah melakukan pemeriksaan barang bukti dari Kepolisian, serta memeriksa saksi-saksi baik dari FPI, petugas polisi, dan saksi masyarakat.
Tim Penyelidik juga melakukan investigasi di Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan menemukan sejumlah barang bukti seperti proyektil peluru, selongsong, dan serpihan bagian dari mobil yang diyakini terkait dengan peristiwa tersebut. Selain itu, tim turut mengamankan beberapa bukti petunjuk lainnya seperti rekaman percakapan, rekaman CCTV, dan sebagainya.
“Bahkan belakangan juga muncul tindakan-tindakan doxing dan serangan terhadap personality anggota Komnas HAM,” ujar Ketua Tim Penyelidikan Komnas HAM Choirul Anam dalam keterangannya di Jakarta, Senin (28/12/2020).
Baca: Selidiki Kematian 6 Anggota FPI, Komnas HAM Mengaku Terima Tindakan Doxing dan Serangan Personal
Sebelumnya, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, yakin SP3 kasus tuduhan “chat” HRS itu sudah memenuhi seluruh mekanisme Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). “Jadi tidak ada alasan meragukan itu,” ujarnya kepada hidayatullah.com Jakarta, Senin (18/06/2018).
Ia menyebutkan, ada tiga mekanisme diterbitkannya SP3 dalam sistem hukum acara pidana Indonesia.
Pertama, peristiwa yang disidik bukan peristiwa pidana. Kedua, alat bukti tidak cukup atau kurang. Ketiga, harus dihentikan demi hukum karena wafatnya tersangka, nebis in idem, daluarsa penuntutannya.*