Hidayatullah.com- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai tahun 2020 merupakan tahun pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, menurut YLBHI, pada tahun 2020 yang baru berlalu kemarin, Indonesia telah sempurna menjadi negara otoritarian.
“(Tahun) 2020 bagi Indonesia tidak hanya tahun pelanggaran HAM seperti tahun-tahun sebelumnya, tapi sempurnanya Indonesia masuk ke negara otoritarian. Apa tandanya? Sebagian kecilnya: perampasan hak rakyat yang semakin dilegalkan dengan Omnibus Law Cipta Kerja. Juga demonstrasi kembali menjadi aktivitas “terlarang” sebab kita bisa ditangkap hanya karena menuju tempat aksi. Padahal pasca kemunduran Soeharto dan tumbangnya rezim otoritarian Orde Baru undang-undang awal yang dibentuk salah satunya adalah UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Sebuah tanda lepas dari trauma masa lalu yaitu penangkapan dan pelarangan demonstrasi saat Orde Baru,” bunyi Pesan Akhir Tahun 2020 YLBHI bertajuk “HAM, Jaminan Konstitusi yang semakin terasingkan” diterima hidayatullah.com pada Jumat (01/01/2021) pagi.
Baca: Ulama, Tokoh, dan Ormas Islam Dukung Komnas HAM Usut Tuntas Kasus Penembakan
YLBHI menyinggung kasus penembakan 6 anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) pengawal Habib Rizieq Shihab oleh aparat kepolisian pada Senin, 7 Desember 2020 serta pembubaran FPI oleh pemerintah pada Rabu, 30 Desember lalu.
“Tahun ini kita juga diberi kesempatan oleh rezim untuk merenungkan HAM secara mendalam. Mereka yang pernah berteriak dan mendesak pembubaran organisasi lain kini dibubarkan oleh Pemerintah dan/atau dilarang beraktivitas. Dan seperti pada isu-isu pasca Pilpres masyarakat terbelah secara tajam. Mereka yang sebelumnya menentang pelarangan JAI, kemudian mendukung pembubaran HTI. Mereka yang mendukung pembubaran FPI tapi sekaligus menentang pembubaran kelompok Syiah. Mereka yang menentang persekusi kelompok minoritas, tetapi mendukung atau setidaknya tidak menolak “penghukuman mati” langsung 6 anggota FPI tanpa melalui proses peradilan. Dan kita lupa mendiskusikan keadilan bagi korban dan keluarganya. Kita lebih asyik melempar kata dan meme mengecam, menghujat satu sama lain, menjauhkan persoalan tentang keadilan & pemulihan bagi korban dan keluarganya, siapapun korban itu. Dan kecaman pun bergulung-gulung untuk kelompok yang menyuarakan pemihakan berdasarkan HAM dalam kasus-kasus serupa ini hingga mendelegitimasi HAM itu sendiri,” sebut YLBHI.
Baca: FPI: Perhatian Internasional Terhadap Dugaan Pelanggaran HAM Berat di Indonesia Sangat Besar
YLBHI juga memaparkan, pada tahun 2020 dipertontonkan bobroknya penanganan pandemi, dan tunggang langgangnya warga mempertahankan diri. “Betapa kita dengan geram melihat kebijakan demi kebijakan penanganan pandemi terlihat seperti amatir dan berantakan. Kita harus berterima kasih sekaligus mengucapkan duka pada 520 orang lebih Tenaga Kesehatan yang wafat dalam perlawanan menangani Pandemi,” sebut YLBHI.
Menurut YLBHI, fenomena ini contoh paling baik tentang politik yang dijalankan tanpa HAM. Keputusan-keputusan didasarkan atas preferensi dan kepentingan politik yang sedang memerintah.
“Oleh karena itu kita hanya berganti-gantian menjadi korban. Korban menjadi pelaku, pelaku menjadi korban, dan seterusnya. Dan dalam upaya agar tidak menjadi korban kita harus menjadi penguasa, menjadi pelaku. Bisakah kita tidak menjadi korban tanpa menjadi penguasa? Bisakah kita menjadi minoritas tanpa menjadi korban? HAM, yang sebenarnya juga adalah dokumen perdamaian dalam jiwa kengerian Perang Dunia II, menawarkan solusinya. Dan Indonesia sebenarnya telah memilih jalan HAM sejak amandemen Konstitusi di masa Reformasi,” sebutnya.
Baca: Habib Rizieq: FPI Dibubarkan, Amar Ma’ruf Nahi Munkar Harus Tetap Diperjuangkan
HAM, menurut YLBHI, tidak peduli dengan aliran politik, keyakinan, gender seseorang/suatu kelompok. Selama tidak melakukan kekerasan maka semua orang memiliki hak. Menurutnya, dengan tidak membela aliran, keyakinan sesuatu HAM sedang membela semua orang yang memiliki aliran, keyakinan yang berbeda-beda. “Kita hanya membutuhkan satu hal; hidup berdampingan dalam damai. Dan hal ini tidak akan pernah tercapai apabila negara tidak netral,” imbuhnya.
Masih menurut YLBHI, tahun 2020 juga merupakan tahun makin bangkitnya kesadaran dan gerakan massa dengan jumlah yang mencolok pada kaum muda. Hal ini tampaknya jawaban alamiah di tengah defisit demokrasi di tubuh partai politik, tidak terasanya oposisi di DPR serta demokrasi yang terus menyusut.
Menutup tahun kemarin, YLBHI mengajak mengingat kenangan pahit tentang 2020 dan mengumpulkan kekuatan baru bagi tahun 2021. “Tahun Gerakan Rakyat,” pungkas YLBHI.*