Hidayatullah.com—Majelis Ulama Indonesia pada Jum’at (30/07/2021) menggelar webinar kajian Rancangan Undang-undang Penghapusan Kejahatan Seksual (RUU PKS) dengan menghadirkan beragam pembicara.
Webinar bertajuk Menggali Pokok Pikiran tentang Tindak Pidana Kejahatan Seksual dari Perspektif Multidisiplin tersebut diadakan melalui Zoom sejak pukul 08.00 pagi hingga pukul 16.00. Menghadirkan enam pembicara, diskusi dimulai dengan pemaparan dari Willy Aditya, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR yang merupakan coordinator penyusunan RUU PKS.
Willy menegaskan bahwa RUU PKS saat ini masih berupa draft rancangan dan bahwa Baleg DPR menerima semua masukan dari berbagai pihak.
RUU PKS yang telah muncul sejak tahun 2016 hingga kini terus mengalami perdebatan dan revisi, termasuk terkait judul dan substansinya. Yang terbaru adalah pengubahan diksi dari kekerasan menjadi kejahatan, yang dianggap lebih tepat dan mewakili.
Paradigma dan Penggunaan Istilah
Prof. Dr. Topo Santoso, M.H., guru besar FH UI, dalam sesinya mengatakan bahwa penggunaan istilah dalam RUU amat penting. Perubahan istilah dari “kekerasan” ke “kejahatan” menurutnya juga tidak tepat, yang lebih tepat digunakan semestinya adalah “tindak pidana”.
Topo juga mengkritisi beberapa pidana yang sebenarnya telah tercakup di KUHP namun masih dimuat di RUU PKS, seperti perkosaan.
Prof. Dr. Abdul Mujib, guru besar UIN Jakarta, juga menegaskan bahwa undang-undang baru tidak seharusnya mengulang yang sudah ada. Jika telah ada, “operasionalnya lah yang harusnya diperbarui”, ujarnya.
Abdul Mujib juga menyampaikan bahwa starting point dalam pembuatan RUU juga penting untuk ditinjau, apakah berfokus pada frasa “kejahatan” atau “seksual”. Jika berfokus pada “seksual”, ungkapnya, maka zina dan liwath (homoseksual) akan menjadi tindak pidana.
Jika paradigma ini dapat dipertimbangkan, ujarnya, hal ini akan menjadi pelengkap dari terhadap apa yang belum terwadahi dalam KUHP.
Sementara, Prof. Euis Sunarti, guru besar IPB, juga mengatakan bahwa paradigma dalam naskah RUU PKS yang lama perlu ditinjau ulang. Terutama terkait pemikiran feminisme dan pro-LGBT yang menjadi landasan, yang ujarnya bertentangan dengan Pancasila dan jati diri bangsa.
Pencegahan dan Perlindungan
Euis Sunarti mengatakan bahwa frasa penghapusan berarti berfokus pada perlindungan dan pencegahan. Untuk itu, menurutnya, keluarga seharusnya menjadi basis utama dari kebijakan.
“Aneh, saat mendukung RUU PKS tapi menolak UU Ketahanan Keluarga,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Euis, adalah bagaimana upaya pencegahan kejahatan seksual juga dapat masuk dalam sistem hukum yang ada. Ia juga mengatakan bahwa keluarga adalah institusi pencegahan kejahatan seksual yang utama.
Prof. Dr. Mudzakkir, ahli hukum UI, juga mengatakan bahwa yang lebih penting dari hukum adalah penanggulangan masalahnya. Ketimbang hukum pidana, upaya pencegahan dan pemberantasan musabab dari maraknya kejahatan seksual lah yang harus mendapat porsi perhatian yang lebih besar.
Elly Risman, ketua Yayasan Kita dan Buah Hati, mengatakan bahwa telah terjadi peningkatan kejahatan seksual selama pandemi, terutam padan anak. Ia menekankan bahwa disfungsi keluarga adalah penyebab utamanya, sehingga pengambil kebijakan perlu mempertimbangkan dan mengakomodasi hal ini.