Hidayatullah.com — Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI) menolak Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Terbatas. Para guru ini kemudian membuat somasi yang berisi penolakan PTM yang ditunjukkan ke pemerintah.
FAGI berkomitmen meminta pihak pemerintah untuk menghentikan PTM. “Minggu depan kita akan buat somasi kedua, karena kita tiga kali somasi, kalau tiga kali tidak di indahkan kita lanjut ke proses hukum, saat ini belum ada jawaban dari mereka terhadap kami,” kata Ketua FAGI, Iwan Hermawan dalam dikusi online Ngopi seksi, seperti dikutip Hidayatullah.com dari youtube Pendidikan Vox Point, Senin (04/10/2021)
Iwan melihat adanya pembukaan sekolah ini cukup berisiko menghadirkan klaster baru penyebaran Covid-19. Menurutnya, saat ini pemerintah pusat dan kepala daerah hanya berpatokan kepada Intruksi Kemendagri saja, tanpa melihat dan menjalankan rekomendasi WHO.
“Yang namanya PTM itu hanya berdasarkan persyaratan administrasi, jadi mereka hanya melihat Inmedagri, mereka lupa ada regulasi lain, persyaratan lain yang terlupakan, rekomendasi WHO tidak diperhatikan,” ujarnya.
Dalam diskusi bertajuk “Mengukur Efektifitas PTM Terbatas dalam Menanggulangi Learning Loss” dikatakan Iwan bahwa vaksin di sektor pendidikan juga belum merata. Hal itu menjadi syarat mutlak dari Ikatan Dokter Anak yang merekomendasi siswa harus divaksin minimal 70 persen dari jumlah siswa yang diperbolehkan melakukan PTM.
“Tapi kenyataannya, bahkan ada yang tidak konsisten Menteri kita, kan dalam SKB 4 menteri mengatakan seluruh guru harus divaksin sebelum mengajar, tapi tidak melihat inmendagri vaksin tidak disyaratkan PTM, pada akhirnya sekolah-sekolah yang belum 70 persen tetap dilakukan pembelajaran tatap muka, saya kira ada pelanggaran yang dilakukan mereka,” paparnya.
Selain itu, Iwan juga melihat masih banyak sekolah yang belum menerapkan protokol kesehatan dengan benar. Sehingga, banyak anak sekolah yang terpapar saat dilakukan PTM. “Sekarang yang terjadi ribuan sekolah kan, terbukti SD yang paling banyak terpapar, kenapa karena anak SD belum divaksin, hampir 40 persen yang terpapar anak SD,” ungkapnya.*