Hidayatullah.com — Maskapai Penerbangan Garuda Indonesia disebut-sebut akan segera berakhir, utang yang besar menyebabkan pesawat kebanggaan masyarakat Indonesia itu terancam bangkrut.
Anggota Komisi VI DPR RI, Herman Khaeron, mendesak pemerintah mencari solusi terbaik guna menyelamatkan PT Garuda Indonesia (Persero). Misalnya seperti memberikan suntikan modal dan membantu mencarikan jalan keluar dari tumpukan utang.
Herman beranggapan masih ada secercah harapan untuk menyelamatkan maskapai penerbangan berkode saham GIAA dari ancaman kebangkrutan. Sebab Anggota Fraksi Partai Demokrat DPR RI ini yakin, Garuda Indonesia masih bisa diselamatkan jika pandemi Covid-19 tidak melanda dunia, termasuk Indonesia.
“Kalau situasi normal dan enggak ada pandemi, masih bisa untuk mengangkat performa Garuda dan memenuhi kewajiban utang,” kata Herman melalui keterangannya, di Jakarta, Rabu (27/10/2021).
Herman paham masalah besar yang dialami Garuda Indonesia dengan terlilit utang dari banyak pihak menambah derita berkepanjangan. Jumlah utang maskapai ini diperkirakan mencapai Rp70 triliun. Kondisi diperparah dengan adanya pandemi Covid-19 yang membatasi kegiatan penerbangan. “Masalahnya pandemi ini berkepanjangan, utang bertambah, negosiasi dengan lessor buntu,” ujarnya.
Dalam rapat Komisi VI DPR RI yang akan datang, Herman pun bertekad untuk mengajak para pemangku kepentingan gotong royong, bahu-membahu guna menyelamatkan Garuda Indonesia.
“Kita harus tetap berupaya untuk menghasilkan kesepakatan yang terbaik. Jadi ada celah Garuda bisa melangsungkan usahanya dan mencari jalan yang tepat untuk memenuhi kewajibannya membayar utang. Kami bertekad dalam rapat komisi mendorong Garuda tetap jadi flag carrier negara dan dipertahankan sebagai kebanggaan bangsa Indonesia,” papar Herman.
Ancaman kebangkrutan maskapai plat merah ini sudah di depan mata. Bahkan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selaku pemegang saham mayoritas tampaknya mulai kewalahan mencari jalan keluar untuk menyelamatkan maskapai yang berdiri sejak 1949 itu. Saat ini emiten pelat merah tengah menghadapi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) kedua terhadap kreditur global.
PKPU merupakan skema restrukturisasi utang Garuda sebesar Rp70 triliun dari total utang senilai Rp140 triliun. Opsi ini menjadi pilihan utama sebelum pemegang saham mayoritas, yakni Kementerian BUMN menempuh langkah pailit.
Sebagaimana diketahui, hingga Juni 2021 lalu Garuda Indonesia masih memiliki utang senilai Rp 70 triliun. Utang Garuda akan terus membengkak karena setiap bulan PT Garuda Indonesia secara konsolidasi menderita kerugian sebesar US$ 100 juta atau setara Rp1,4 triliun pada kurs Rp14.000 per US dollar.
Berdasarkan keterangan direksi Garuda saat RDP dengan komisi VI Juni lalu, sumber kerugian antara lain karena Garuda dibebani oleh 101 pesawat sewaan yang kondisinya menganggur (Unutilized asset) dari jumlah 142 pesawat dengan total fixed cost sebesar US$ 82 juta per bulan atau setara Rp1,16 triliun.
Padahal market saat ini hanya memerlukan 41 pesawat saja. Sementara fixed cost untuk 101 pesawat harus tetap dibayarkan dan menjadi utang jika tidak dibayar. Padahal pesawat-pesawat tersebut tidak menghasilkan revenue. “Untuk BBM saja, Garuda Indonesia juga memiliki tunggakan utang BBM ke Pertamina sebesar Rp 12 triliun,” ujarnya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Garuda saat ini juga harus menghadapi gugatan pailit dari sejumlah perusahaan. Diantaranya gugatan dari PT Mitra Buana Korporindo terkait utang dengan gugatan sebesar US$ 4,78 milyar atau hampir Rp70 triliun. Kemudian PT My Indo Airlines terkait tunggakan pembayaran layanan kargo dengan gugatan sebesar US$ 700.539 atau hampir Rp10 milyar.
Selanjutnya gugatan datang dari PT Aircraft Ireland Limited dari negara bagian New South Wales, Australia terkait pembayaran sewa pesawat, juga dari Helice dan Atterisage (Goshawk) di Pengadilan Arbitrase Internasional London terkait pembayaran sewa pesawat. Melihat fakta-fakta diatas, upaya penyelamatan Garuda memang sangat sulit.
Isu penyelamatan lain pun mulai muncul ke publik, yaitu mengganti Garuda Indonesia dengan PT Pelita Air Service (PAS), maskapai penerbangan charter yang semula digagas PT Pertamina (Persero). Sayangnya, pemerintah belum mau membuka suara secara utuh mengenai rencana ini.*